Menyeka
Kehidupan
“Sebuah Perenungan di Musim Liburan”
Satu hembusan nafas
kelegaan kuhempaskan begitu saja. Semua selesai, semua berakhir, semua habis.
Yah, keluh kesah dan titik keringat yang tak terhenti mengucur empat bulan ini.
Aku bara saja terlibat dalam pertarungan seru dalam semester ini. Menyelesaikan
segala persoalan dan hal yang bersangkut paut dengannya. Semuanya pecah dalam
satu warna. Ketika tugas yang dibuat sampai pagi berakhir sia-sia, juga ketika
tugas yang dikerjakan dalam rentang waktu yang sama dihargai dengan A. Semuanya
berlanjut dengan abregan tugas-tugas yang dikumpul, mencari bahan-bahan,
terkendala ketika buku yang dicari sulit ditemukan, merangkum semua sumber dalam
kapasitas maksimal 20 lembar. Sungguh melelahkan. Belum lagi hal-hal bodoh yang
dilakukan selama pengerjaan teknis. File yang kehapus, file yang kena virus,
hingga kebuntuan dalam menyelesaikan. Semuanya memforsir otak, tenaga, dan
kesabaran.
Aufhh, betapa leganya
ketika bunyi gong nan keras itu bertalu-talu mengomandokan bahwa “Kau Ilham
Fauzi, diberi waktu untuk mengistirahatkan pikiranmu yang mulai menggila”. Ahahaha. Aku tertawa lepas.
Aku tak berhadapan dulu
dengan gulungan-gulungan kertas yang diangkut ke sana-sini. Lalu dengan jubelan
buku yang sungguh membuat punggungku pegal menentengnya. Namun hanya terhitung
berpuluh hari saja. Setelahnya…
“Kita bertemu lagi
sayang.” sapanya indah.
Yeah, aku menyadari ini
adalah pilihan. Jika dulu aku memilih memasuki dunia kerja, tentu aku akan
berada dalam kilau kisah yang berbeda. Mungkin aku akan berkata begini.
“Leader yang
menyebalkan. Kerjanya membentak terus.”
“Pulang kerja capek
sekali. Tenaga terus yang diporsir.” Atau…
“Malang sekali aku ini. Masih
muda, masih imut, dan (oh) masih ganteng, sudah berkawan dengan tetes demi
tetes keringat yang memancar lelah.
Ahahahaha. Lagi aku
tertawa.
Lalu aku pergi.
Meninggalkan sejumput penat dan lelah yang mendera. Mencari angin kepuasan yang
bertiup tanpa aroma serius. Menemui gudang-gudang kerinduan yang belakangan ini
terus-terusan datang memanggil. Lalu akhirnya aku kembali terpekur dalam
endapan kisah. Membuat memoar yang sebelumnya bergelantungan berputar untuk
diingat. Aku terbujur dalam kaku gerakan tanpa alur. Membiarkan pemikiran
berlayangan tanpa arah, tanpa menuju akhir tujuan yang jelas.
Ah, namun berdiam diri
tak selamanya mengenakkan. Hari-hari yang berlalu berjalan tanpa kemanfaatan.
Tanpa ada sesuatu yang diproduktifkan. Lagi aku juga tak menginginkan suasana
begini.
Kehidupan tetap terus
berputar. Musim liburan masihlah lama. Meski ada gurat pertanda untuk
mengisyaratkanku agar masih untuk tetap berada di rumah, namun semua
terabaikan. Kita tak mesti harus terjebak dalam kubangan malas yang membuat
kita berpendar di dalamnya hingga berlama-lama. Dalam hari-hari yang akan terus
menjemput haruslah ada prioritas panjang dan pendek yang wajib terealisasi.
Hingga realitanya nanti membuat penghidupan kita tidak sia-sia, dihargai orang,
dan mendatangkan keberkahan, kebaikan, dan semangat.
Berdiam diri dengan
alasan ketidakberdayaan bukanlah sesutu yang bijak.
“Ah, aku kan masih
liburan. Nggak apa-apalah di kampung dulu. Bangun siang, habis itu makan,
jalan-jalan, nonton, dan tidur.” Ah, itu tidaklah mengagumkan.
Namun jika “Aku di
kampung bantu orang tua. Bantu ini, bantu itu.”
Alasan yang valid juga.
Tapi bantu orang tuanya tidak seharian bukan? Paling setengah hari. Lalu
separoh hari ini akan berpeluang untuk berhura-hura. Oh jangan!
Meski di kampung, kita
tetap dapat melakukan hal yang berguna. Bantu orang tua pasti. Melakukan sesuatu
yang lain yang dapat mendatangkan ibrah juga. Menulis bisa jadi pilihan. (ehm).
Akhir
Januari 2012. Saat kering begitu hebat mendera. Namun tak apa, asal jangan
kering keimanan. :))
azek...azek.... sedap betul lah baca tulisan budak ni...
BalasHapusheheheh, makaseee... pantengin terus eaaa... :DD
BalasHapus