Sabtu, 26 Mei 2012


Pintu Langgar Terkunci
Ilham Fauzi

Kekhawatiran ini semakin meraja ketika bus yang membawaku pulang melewati deretan pohon-pohon  karet yang berjajar rapi. Tidak seberapa lama lagi aku tiba. Senyap kehidupan begitu terasa. Yang tersapu oleh mata hanya gurat-gurat wajah tua yang terus telaten mencukurkan pisau dodos ke batang karet. Mengharapkan keterusan hidup dari tetes-tetes getah yang memenuhi batok kelapa. Sedang wajah-wajah segar yang baru saja muncul mengisi peradaban, sama sepertiku. Meninggalkan tanah ini dan berniat mengubah kehidupan di keramaian kota.
Resah menghinggapi jiwa. Aku perkirakan kemungkinan yang akan terjadi nanti. Sebulan lalu saat ibu mengabarkan bahwa paman Yudi, adik bungsu ibu, meninggal diserang penyakit paru-paru. Paman Yudi seorang perokok aktif, membuatnya tak bisa bertahan lama. Waktu itu aku kemukakan bahwa aku tak bisa pulang. Sebab kuliahku benar-benar susah untuk ditinggal. Apalagi mata kuliah statistik. Sekali saja tidak masuk, maka nilaiku terancam C. Alasan itu aku sampaikan pada ibu. Meski di ujung telepon aku sempat menangkap nada suara ibu yang kecewa. Aku hanya mendesah. “Maafkan Ulis ya Allah. Semoga Ulis tidak kehilangan cinta-Mu.”
Kini ketika liburan semester ganjil datang, aku bertekad menuntaskan hutangku itu. Meminta maaf pada bibi Ais, istri paman Yudi. Semoga dengan kehadiranku yang tidak lama di rumah, bisa menuntaskan rasa bersalah itu.
Aku melirik pergelangan tangan. Pukul setengah satu. Waktu zuhur pasti telah masuk. Perjalanan ada dua puluh menit lagi. Kusandarkan tubuh di kursi bus yang terus memudar warnanya dengan kain yang lusuh. Kaca kiri-kanan berkabut debu. Atasnya terus mengusam. Dicampur dengan asap bus yang masuk ke dalam. Kadang aku iri dengan transport luar negeri seperti Mesir, Eropa juga Amerika yang menggunakan kereta api bawah tanah yang nyaman dan bersih.
Pikiranku melayang kembali pada rumah. Aku membayangkan Akbar, adik bungsuku, akan menanyakan oleh-oleh. Anne, adik yang tertua muncul dengan menanyakan novel The Da Vinci Code yang sudah lama ia idam-idamkan. Dan Fiji, terpaut dua tahun dibawah Anne, meminta notebook dan bermain game di sana. Lalu aku teringat pada langgar di sebelah rumah. Enam bulan yang lalu, meski langgar tidak begitu ramai dikunjungi waktu shalat berjamaah, ataupun dengan anak-anak yang mengaji, namun langgar tetap hidup. Ada Bang Izai di sana yang menungguinya dan mengaktifkan langgar. Bang Izai tidak bergaji untuk itu. Ia dulu kuliah di tempatku sekarang. Juga menjadi aktivis kampus. Maka dengan semangat itulah Bang Izai masih tetap bertahan untuk terus memberikan nafas pada langgar. Saat ini Bang Izai bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dengan status masih honorer. Aku bertekad dengan kepulangan kali ini, bisa menambah jumlah anak yang mengaji ke langgar dan jamaah yang bertambah banyak untuk shalat berjamaah.
Bus berhenti di depan pos ronda ujung jalan kampung. Aku mesti berjalan sepuluh menit. Antara keinginan melaksanakan shalat Zuhur dan menuntaskan dahaga berkecamuk hebat untuk segera ditunaikan. Aku semakin mempercepat langkah menuju rumah.
Melewati langgar, kudapati pintunya yang terkunci dengan gembok besar. Kemana Bang Izai? Rasanya Zuhur baru terlewat beberapa menit. Selanjutnya mataku terbelalak tak percaya ketika melihat keramaian orang yang memasak di halaman rumah. Ibu melihat kedatanganku tergopoh-gopoh mendekat. Diikuti pasangan mata tetangga yang sibuk memasak. Aku tak butuh penjelasan lagi. Setelah mencium tangan beliau, aku berujar pendek. “Uli belum shalat Bu.”
Sebenarnya hatiku begitu risih dengan acara di rumah yang tak aku sangka-sangka itu. Acara menyeratus hari kepergian Paman Yadi. Aku heran, Bibi Ais adalah guru agama. Apa ia tidak tahu tentang hukum ini. Atau… tidak! Tidak mungkin ia tak bisa menolak acara yang sudah menjadi tradisi di kampungku ini. Ah, awal yang tidak menyenangkan begitu aku kembali menghempaskan kaki di rumah. Sebuah awal yang membuatku takut akan kehilangan cinta Rabb-ku.
Dengan alasan lelah, aku minta izin pada ibu untuk istirahat. Sepertinya ibu belum menangkap gurat lain di mataku. Ah ibu, andai ibu tahu betapa hal ini tak ada gunanya. Bukankah ini hanya merusak ketenangan almarhum di alam sana. Aku bisa pastikan apa yang ada di atas pusara Paman Yudi sekarang. Peralatan makanan seperti piring, sendok, gelas pasti telah berada di sana. Tujuannya agar keluarga yang ditinggalkan bisa melupakan almarhum. Tradisi ini memang sudah ada sejak dulu. Sebab kampung ini tidak terjamah dengan nuansa religius.
Ketika aku mengenal tarbiyah di kampus, pandanganku mulai berubah. Membaca sirah sahabat dan memahami kehidupan Baginda Nabi membuatku tersadar akan bagaimana sejatinya sebuah hidup. Masih kuingat kata-kata Mbak Desy, kakak mentoring, saat aku pamit untuk pulang. “Meski dakwah dunia kampus untuk sesaat berhenti, namun adek jangan lupa bahwa di kampung tarbiyah tetaplah harus berjalan. Jangan pernah down dan jadikan tempat sekitar  sebagai ladang dakwah. Tujuan kita adalah untuk mendapatkan cinta yang benar-benar putih dari-Nya bukan?” ujar Mbak Desy tersenyum. Benar-benar menyejukkan rongga jiwa.
Ah, harusnya ibu berada di sini. Memelukku dengan penuh cinta. Mendengarkan hari-hariku yang penat. Hari-hari yang penuh keluh kesah. Saat-saat aku diberi ujian dengan fitnah manusia. Mengatakan bahwa aku anak rohis malah berpacaran dengan seorang ikhwan. Betapa aku merindukan ibu mengatakan “Ibu percaya dengan anak gadis Ibu yang tak akan menduakan cinta-Nya sebelum waktunya datang.”
Aku memejamkan mata. Sementara  di luar sana suara orang-orang memasak untuk acara nanti malam semakin riuh.
***
“Abang sekarang sibuk Ulis. Menjadi guru PNS itu berbeda dengan honorer. Kerjaan Abang lebih banyak.”
“Tapi Abang kan masih bisa menghidupkan langgar di waktu shalat-shalat tertentu bukan? Tidak memati totalkan seperti ini.”
“Ah Ulis. Realistis saja. Abang tidak digaji. Jamaah yang datang ke langgar pun dua, tiga orang.”
“Investasi akhirat Bang. Masa’ Abang kalah di medan perang.”
“Ulis, Ulis. Bukannya Abang kalah. Niat untuk menghidupkan langgar sangat kuat. Namun jika hanya Abang sendiri, Abang tak akan sanggup terus bertahan Ulis. Bukannya Abang lupa jalan pulang. Memang memakmurkan agama-Nya agar terus mendapatkan cinta-Nya sebuah keharusan Ulis. Tapi untuk di sini…” suara Bang Izai, aktivis yang berjaya pada masanya, terdengar hambar.
"Jika mengajak warga di sini untuk ke langgar memang susah, kan anak-anak berbeda Bang. Mereka pasti…”
“Sudahlah Ulis. Besok-besok Ulis bakal tahu juga.”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Bang Izai mengangkat bahu, tidak berniat menjelaskan. Kemudian bangkit menemui abang Rini.
“Rini ada titipan Bu. Sayang kalau ditunda-tunda.” kataku tadi pada ibu. Tentu saja alasannya bukan itu.
“Boleh. Asal jangan tidur di sana saja.” jawab ibu sambil terus sibuk mengatur ini itu. Aku melihatnya dengan risau.
Sampai di rumah Rini, aku berencana menumpahkan segala uneg-uneg yang mendera. Rini juga kuliah di tempat yang sama denganku. Namun berbeda jurusan. Ia lebih duluan pulang dariku seminggu yang lalu. Rumahnya hanya ditinggali oleh abangnya yang belum menikah. Kedua orang tua Rini sudah dipanggil-Nya. Yang aku salutkan dengan Rini ia semakin mendekatkan diri pada-Nya dan mempelajari islam secara utuh ketika kami sama-sama mulai memasuki dunia perkuliahan. “Tidak ada cinta yang abadi selain cinta dari-Nya Lis.” ujarnya.
Lalu pada saat bersamaan, Bang Izai yang sejak tadi aku pertanyakan muncul untuk menemui Bang Fakih, abang Rini. Maka pertanyaanku tak bisa lagi aku bendun. Bukan jawaban yang memuaskan yang didapat. Malah keluhan Bang Izai yang pesimis bahwa langgar tak bisa lagi diteruskan. Semakin hari semakin tidak ada yang datang ke langgar. Alasannya? Sibuk dengan urusan dunia.
Andai mereka tahu akan luar biasanya shalat berjamaah. Andai mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan cinta-Nya yang sungguh jauh lebih berharga akan kecintaan pada dunia semata. Dan andai mereka tahu, tak ada cinta yang sempurna selain cinta hanya pada-Nya.
Pukul delapan malam orang-orang mulai ramai di rumah Bibi Ais yang berada di sebelah rumahku. Kaum laki-laki mengisi tempat duduk yang dihadapannya telah terbentang sprah putih dengan berbagai makanan. Sementara kaum wanita sibuk di belakang menyajikan makanan.
Acaranya sama halnya dengan syukuran kecil. Yakni dimulai dengan makan seperti biasa dan diakhiri dengan do’a untuk almarhum. Kembali aku mendesah. Apakah cukup hanya dengan do’a, sementara perintah utama-Nya saja tidak dituruti. Bagaimana akan dikabulkan sebuah do’a jika cinta untuk-Nya saja tidak ada. Dan bukankah jauh lebih bijak jika mendo’akan almarhum dilakukan setiap waktu terutama seusai shalat fardhu. Bukan dengan mengadakan acara syukuran yang memakan banyak biaya. Pemikiran itu terus kupendam. Bila  mempedebatkannya apalagi dengan ibu, aku benar-benar takut nanti jika akhirnya aku kehilangan cinta-Nya.
***
          Apa yang dikatakan Bang Izai benar adanya. Kedai baru yang berdiri di dekat rumah Rini itu dimiliki oleh bapak kaya dengan perut menonjol. Di sana ramai dengan orang-orang yang nongkrong minum kopi, merokok, juga main kartu. Tv ukuran 29 inchi berbody tipis membuat orang-orang semakin betah di sana. Tempat itu memang dibuat senyaman mungkin. Bangunannya bertembok dan kursinya yang dilapisi busa. Bahkan kedai ini masih terus buka hingga subuh, sebab masih ramai dengan yang menonton bola.
Kampungku semakin renta dengan tingkah manusianya yang tak ingin mendapatkan cinta-Nya. Cinta itu terganti dengan yang lain. Terpaut akan kecintaan pada nikmat dunia saja.
Wajah-wajah polos itu begitu bersemangat ketika aku iming-imingi dengan belajar tambahan di rumah Rini. Mereka tak menolak diawali dengan belajar mengaji terlebih dahulu. Sesungguhnya aku berharap tempatnya di langgar. Namun setiap orang yang aku tanya menjawab tidak tahu ketika aku tanya sama siapa kunci langgar. Ibu, Bang Zai bahkan Pak Lurah.
          Hari-hari terus berjalan. Seperti biasa, menjelang waktu maghrib aku tiba di rumah. Hatiku mulai diselimuti bahagia. Jundi-jundi kecil itu bersemangat ketika aku ajari mengaji.
“Mbak Ulis kemana saja sih? Kita juga masih pengen terus belajar mengaji. Cuma gak ada yang ngajarin.” sahut bibir-bibir mungil itu.
Aku hanya tersenyum. Sekarag bibit-bibit itu sudah ditanam. Jika mereka akan terus disirami, pasti berbunga, tumbuh menjadi pohon yang meneduhi dan memberikan manfaat kepada banyak orang.
Seperti sore-sore sebelumnya, menjelang maghrib aku tiba di rumah.
“Apa yang kamu lakukan di rumah Rini, Ulis?’ ibu menatapku tajam.
“Ulis memberikan les Bu.” jawabku santai.
“Hanya itu? Lalu kenapa obrolan ibu-ibu yang ke sini tadi mengatakan kamu tak mengajar selain itu.”
‘’Bu, Ulis mengajarkan mereka mengaji. Apa itu salah?”
Ibu diam sejenak. Seperti memendam sesuatu. “Tapi orang tua mereka tak menghendakinya Ulis. Jika kamu minta digaji, mereka bersedia membayar. Tapi ajari mereka pelajaran sekolah saja. Soal mengaji tidak usah. Mereka tidak butuh.”
Wajahku mengkerut marah.
“Jadi Ibu juga tak mendukung Ulis?”
“Sudahlah Ulis.” Ibu mengedarkan pandangannya kesekeliling. Bisa kurasakan getaran sayang itu masih jelas. Namun aku maklum, ibu juga tak punya daya untuk itu.
Aku menunduk. Air mataku meronta ditumpahkan. Kembali aku teringat akan petuah-petuah Mbak Desy. “Dakwah ini memang jalan panjang. Begitu juga untuk menggapai cinta-Nya. Butuh waktu yang juga panjang. Tetaplah istiqamah, tetaplah berada dalam kawah cinta-Nya dan lakukan semua untuk mengekalkan cinta-Nya.”
***
Ibu melarangku untuk tidak mengajari anak-anak itu lagi. Sore ini aku hanya terdiam di rumah. Pintu diketuk dan ibu membukanya. Pak Lurah. Ibu mempersilahkan duduk. Setelah sedikit cengengesan, ia menyampaikan misinya.
“Langgar bisa saja dibuka. Begitu juga dengan pelajaran mengaji. Semuanya bisa dilakukan di langgar kapanpun.”
Aku tersenyum. Terima kasih Ya Allah atas hidayah yang tiba-tiba ini.
“Tapi Ulis harus bersedia didekati Tardi anaknya Pak Busra, orang kaya pemilik kedai baru itu. Mungkin selanjutnya kalian bisa pacaran dan …” Pak Lurah itu cengengesan lagi.
Wajahku berubah gusar. Sementara Pak Lurah terus tertawa tidak jelas menanti jawabanku.
***
Ah, tidak ada yang benar-benar membahagiakan jika telah merasakan kehangatan cinta dari-Nya. Lalu, tak ada yang lebih menyejukkan dari kata-kata cinta-Nya yang disuarakan lewat firman-firman-Nya, walau dibanding dengan lembut sepoi angin yang melambai dan memberikan sejuk ke seluruh jiwa.
Pintu langgar memang akan terus terkunci. Asaku untuk menjadikan langgar di kampung sebagai tempat untuk mengharapkan cinta-Nya yang lebih besar, belum terwujud.  Biarlah cinta manusia itu aku tolak dan pintu langgar tidak bisa dibuka. Aku tak yakin jika menerimanya nanti, cinta untuk-Nya akan terus berpijar.***
                                                                          Panam, akhir Februari 2012

Juara III Lomba Cerpen Islami Tema Sang Maha Cinta FLP RIAU