Senin, 24 September 2012


PON dan Perjalanan Saya

      Sebenarnya malam Sabtu atau Jumat malam, tulisan ini sudah saya posting. Tetapi karena tiba-tiba saja ada yang menodong saya, maka terpaksa tulisan ini saya tinggalkan dengan kondisi terbengkalai. Pertama, saya sudah janji dengan teman Humas ISC Al-Iqtisody (Rohis Fakultas Saya), untuk menyumbangkan satu cerpen yang berdurasi eh yang berpanjang dua senti. Maaf, dua lembar untuk diterbitkan di mading. Karena masih suasana mahasiswa baru, teman-teman redaksi mengambil tema Jati Diri. Kata mereka, jati diri menarik diulas di edisi ini. Soalnya, mahasiswa baru itu biasanya sedang mengalami masa peralihan. Bukan hewan saja yang peralihan ternyata ya. Tetapi faktanya, antara masa peralihan yang dialami mahasiswa baru dengan hewan yang berada di daerah peralihan, jauuh berbeda. Kira-kira jauhnya dari Sabang sampai Merauke.
        Nah, karena sedang mengalami masa peralihan itulah mereka lupa jalan pulang. (Ini maksudnya apa sih? Ngajak berantem kali ya?)
        Hehe. Maksudnya begini. Sebagai mahasiswa baru yang baru saja bergabung dengan dunia yang lebih luas cakupan pergaulannya dan tata cara hidupnya, tentu teman-teman kita tersebut punya rasa ingin tahu yang besar terhadap hal-hal yang mereka temui. Sehingga ketika ada celah untuk mencoba hal yang belum diketahui pasti plus-minusnya, di sanalah salah pilih atau benar pilih bisa dirasakan. Meski, ada juga yang bersikap don’t care dan memilih teman hidupnya kelas, kantin dan kamar sebagai tempat yang mendengar keluh-kesahnya dalam senyap. Begitulah kira-kira.
        Kedua, saya dapat tawaran sebagai pemateri dalam ekskul Menulis Kreatif di sebuah MTs di Pekanbaru. Thanks sekali untuk Kak Ema, Bg Jum, Bg Mukhlisin Bonai dan juga Risah Icha Azzahra untuk hal ini sebagai pihak yang sedikit terlibat dalam hal ini. Haha. Alhamdulillah ngajarnya tidak hancur-hancur amat. Berikut sedikit reviewnya.
***
        Pada pagi sebelum siang di hari Jum’at, sembari menunggu masuknya waktu shalat Jum’at, saya singgah ke perpustakaan universitas. Sebelumnya saya baru saja keluar mata kuliah Kepemimpinan. Masih ada dua jam lagi menunggu waktu zuhur. Saya sambungkan laptop ke jaringan wifi, kemudian saya berselancar di dunia maya sesaat.
        Kebetulan pada saat yang bersamaan, saya bertemu kak Ema di chat. Setelah diskusi beberapa hal tentang cara penulisan cerpen, kak Ema menawarkan ada lowongan mengisi materi menulis fiksi untuk anak MTs sekali seminggu. Wah, saya langsung semangat mendengarnya. Karena sebelum-sebelumnya saya belum pernah berhadapan dengan anak-anak untuk diajar. Baik ngajar ngaji, ngajar nerangin pr, atau ngajarin perang. Hehe.
        Kata kak Ema, tunggu saja. Nanti dilaporkan ke pihak yang berwajib (polisi dong). Beberapa saat setelah itu, kak Ema off, saya juga. Ketika saya hendak mematikan laptop, kak Ema lewat di hadapan saya. Hahaha. Saya tergelak dalam hati. Ternyata kak Ema ada di sini juga. Kalau dipikir-pikir, sama saja ibaratnya seperti orang yang telfonan dalam satu rumah tapi beda kamar.
        Setelah mendapat penjelasan dari guru yang menghubungi saya, saya mulai dapat bayangan apa yang bisa saya sampaikan besok. Analisis saya seperti ini. Karena besok yang saya hadapi adalah anak MTs, sepertinya tulis-menulis masih baru bagi mereka. Maka saya mengangkat materi terlebih dahulu tentang menulis apa saja.
        Pagi itu, hujan sedikit lebat mewarnai perjalanan saya. Saya sedikit terlambat. Baru pukul delapan sampai di sana, dan teman-teman yang mengikuti ekskul menulis kreatif sudah menunggu saya. Awalnya saya membagikan setengah kertas hvs yang telah saya potong, lalu menyuruh mereka menulis apa yang mereka alami dari bangun pagi sampai bertemu saya. Saya beri waktu lima menit. Tujuannya untuk pemanasan terlebih dahulu. Saya biasanya sebelum membuat cerpen, saya menulis hal-hal yang ringan. Seperti cerita tentang keponakan-keponakan saya yang suka nyari lawan sama saya ketika sudah berkumpul di rumah besar kami.
        Waktu habis, kertas saya ambil dan saya bagikan lagi kertas lain. Kertas ini kecil. Berbentuk persegi ukuran kira-kira 6cmx6cm. Di sana sudah saya isi dengan form nama, ttl, juga buku yang pernah dibaca. Dari sekian judul-judul buku yang mereka baca, hanya satu yang pernah saya baca. Tahu nggak apa? Badman : Bidin. Selebihnya, teenlit semua.
        Ketika mereka mengisi form tersebut, saya membaca secepat kilat tulisan-tulisan mereka. Tidak sampai lima menit, saya sudah mendapatkan dua tulisan yang agak berbeda. Berikut dua tulisan tersebut :
        Bangun tidur tadi saya terkejut dengan bunyi alarm saya. Huh! Hampir aja tuh alarm mau ditendang. Setelah mematikan alarm, saya pun mencuci muka dan berwudu siap-siap melaksanakan solat subuh. Kira-kira lima menit kemudian saya mandi dan berpakaian. Karena merasa bosan menunggu waktu untuk sekolah, saya mengambil cemilan berbungkus-bungkus di dalam kulkas. Kemudian mendengar musik dengan headset kesayangan saya. Karena lagu favorit saya terdengar, saya pun ikut menggumamkan lagu itu. Karena waktu masih lama, saya menyempatkan diri membuka artikel yang berjudul “SM TOWM LIVE TOUR III JAKARTA”. Alangkah senangnya saya karena group girl band yang saya suka akan konser di Indonesia. Saya berteriak senang. Akhirnya waktu menunjukkan pukul 7.30. Saya berangkat sekolah dan duduk di kursi. (no name).
        Di pagi hari ini saya bangun atau tepatnya dibangunkan oleh tante saya pada jam lima lewat. Setelah bangun saya pergi berwudu dan solat. Setelah itu saya duduk-duduk di kasur. Karena mengantuk saya pun tertidur kembali. Di saat sedang tidur saya terjatuh ke bawah tempat tidur. Setelah itu saya bergegas untuk mandi. Setelah mandi dan pasang baju, saya pun bercanda tawa dengan teman. Setelah itu bel pun berbunyi. Saya dan teman-teman masuk ke kelas dan bertemu kak Ilham Fauzi yang akan mengajari kami tentang menulis kreatif. (no name).
        Tulisan tersebut sengaja tidak saya suruh kasih nama biar penilaiannya tidak berdasarkan nama yang bagus. Hehehe. Tidak, waktu itu saya kepikiran tidak usah diberi nama saja. Dua tulisan tersebut, sempat saya kasih doorprize berupa mainan kunci berlogo PON yang sempat saya borong waktu penutupan PON semalam. Hehe. Semangat menulis ya teman-teman! Sekadar info, saya mendapat kesempatan ini di MTs Al-Ijtihad Rumbai. Yang mengikutinya teman-teman kelas VIII yang berjumlah 11 orang.
        Selanjutnya, saya memberi permainan menulis estafet. Saya pancing mereka dengan satu kalimat di awal paragraf. Lalu mereka meneruskan sebanyak lima sampai sepuluh kalimat dengan tema yang saya tentukan. Akhirnya mereka selesai menulis cerpen yang bertema lingkungan dalam waktu duapuluh menit. Berikut beberapa cerpen pilihan yang menurut saya agak menonjol dari yang lain.
        Di gang rumahku ada seorang bapak yang membawa gerobak sampah. Setiap pagi bapak yang umurnya di ujung tombak itu selalu membawa gerobak sampah kesayangannya. Tak pernah kulihat bapak tua itu mengeluh merasa lelah. Pokoknya selalu bekerja.
        Pagi ini beberapa ibu-ibu marah besar. Bau sampah itu menyengat ke segala penjuru. Kulihat kejadian itu di balik tirai jendelaku. Sungguh kasihannya. Kulihat ratapan matanya sangat sedih. Tampaknya bapak tua itu akan mengeluarkan air mata sejadi-jadinya. Kulihat ada ibu-ibu yang berusaha menyuruh bapak tua itu pergi. Kelihatannya mereka marah karena bau sampah yang sangat menyengat. Beberapa bapak-bapak segera mengerumuni bapak tua itu seperti lingkaran bola.
        Setelah melapor kepada pak RT, maka disepakati bapak itu bekerja pukul 01.00 dini hari. Bapak itu hanya tersenyum dan menjalankan tugasnya dengan penuh semangat.
        Pada malam harinya, aku tersentak karena terbangun oleh bunyi dari tong sampah. Karena masih mengantuk, lalu aku pun tidur kembali. Tak lama kemudian, terdengar lagi oleh telingaku bunyi suara yang berasal dari omelan warga. “Huh... kenapa sih mereka ngeluh mulu.” Kataku sambil berusaha membuka mata. Kulihat bapak itu diusir dari kompleks karena tidak ada cara lain untuk membuat ketenangan warga. Yaa, bagaimana lagi! terpaksalah orang-orang harus mengirimkan sampah ke tempat pembuangan sampah yang cukup jauh. Tampaknya warga menyesal karena telah mengusir bapak tua itu dan akhirnya tidak terlihatlah batang hidungnya. Tampaknya untuk selama-lamanya. Rania Khairani.
          Di  gang rumahku ada seorang bapak yang membawa gerobak sampah. Dengan wajah yang penuh semangat dan topi yang lusuh, ia bergegas untuk memungut sampah. Bapak ini tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Di hari minggu dengan gerobak sampah besi yang sudah berkarat ia bersama anaknya memungut sampah. Kotor, bau adalah hal yang dihadapinya. Pagi ini beberapa ibu-ibu marah bahkan anak-anak pun marah atas kejadian bau yang menyengit. Gerobak bapak itu ternyata bolong. Entah karena sudah lama berkarat atau ada sebab lain. Sampah yang sudah dipungutnya dari pagi berserakan di jalanan. Setelah melapor kepada pak RT maka disepakati bapak itu bekerja dini hari sekitar pukul 01.00 malam. Bapak itu tetap tersenyum dan menjalankan tugasnya dengan semangat. Ketika melewati pos ronda, ternyata ada pemuda kampung yang mabuk-mabukan. Dengan ekspresi yang sangat terganggu pemuda tersebut menghajar bapak tersebut. Akhirnya bapak tersebut pun meninggal dengan wajah lebam. Pagi harinya warga pun menyesal atas kematian bapak tersebut karena tidak ada yang memungut sampah lagi. Rahmadi Arrahman.
        Pembuatan satu cerpen selesai, saya harus balik ke Panam. Duapuluh menit lagi saya masuk. Setelah menutup kelas dan bersama-sama membaca do’a kafaratul majlis, saya beranjak pergi.
        Baik, karena di sini yang menjadi pokok pergosipan bukanlah tentang perjalanan pertama saya mengajar, maka reviewnya saya sudahi sampai di sini. Tentang perjalanan saya melihat PON malam itu, silahkan baca paragraf-paragraf berikutnya. Terima kasih ya masih tetap bertahan membacanya sampai sejauh ini. Haha.
***
Di kalangan teman-teman sesama mahasiswa di kelas saya, khususnya kaum wanita yang katanya paling cantik di negeriku Indonesia, ceremony penutupan PON tidak begitu hangat dibicarakan. Paling mereka hanya sekadar menanyakan “Nanti lihat penutupan PON?”
        Jangan dikira mereka dengan sukarelanya bilang, “Kita pergi barengan yuk!” Tentu beberapa teman-teman di kelas saya sudah punya ‘bodyguard’ yang siap menemani.
        Sebetulnya minggu ini adalah minggu perkuliahan saya yang kedua. Kebanyakan kawan laki-laki menjadi panitia PON. Sehingga kelas beberapa hari ini tidak begitu balance. Perempuannya banyak, tetapi yang laki-laki hanya lima orang. Baru tadi pagi, beberapa teman yang menjadi panitia PON, masuk mata kuliah Kepemimpinan. Saya sempat melakukan sedikit investigasi. Haha.
        Kata salah seorang teman saya tersebut--saya malas menyebutkan namanya walau bagi orang yang bersangkutan begitu ngebet namanya dicantumkan di sini—ia menjadi panitia hand ball. Pukul tujuh pagi ia sudah stay tune di sana, dan baru bisa meninggalkan arena lapangan pukul tujuh berikutnya. Karena lapangan hand ball full pasir, maka sebelum dan sesudah pertandingan, kerjanya adalah meratakan tanah tersebut. Selain itu mengambil bola-bola yang out adalah tugas wajibnya. Maka jadilah teman saya tersebut ketika pertandingan berlangsung menjadi pemulung bola. Ups!
        Lain lagi cerita teman saya yang menjadi LO (kerjanya mengkondisikan transportasi untuk atlet, official, dan sejenisnya). Kalau nasibnya dia, agak-agak mirip sama setrikaan. Bolak-balik ke sana ke mari. Tetapi, tentang salary yang mereka peroleh, hm... besar atau kecilnya suatu salary itu relatif ya, kalau bagi saya, lumayanlah. Sayangnya, saya dapat warning untuk tidak boleh mengekspose tentang hal ini.
        Well, ini tentu bukan sebuah laporan formal tentang ceremonial penutupan PON. Tapi setidaknya kamu semua dapat menikmati salah satu kisah yang tergeletak di sebuah sudut di balik akbarnya upacara penutupan PON malam itu. Juga beberapa keribetan saya. Haha.
***
        Sore itu, saya masih harus masuk mata kuliah Politik Agraria. Meski ini baru pertemuan pertama, tidak bisa dianggap sepele. Pada saat inilah dosen memberitahu tentang kriteria penilaian, kesepakatan waktu masuk, kontrak kuliah, pembagian kelompok berikut bersama materi, dan hal lain yang dianggap perlu.
Saya agak sedikit terlambat datang sekitar dua menit. Untungnya dosennya belum mulai. Setelah menunggu beberapa saat, pertemuan pertama dimulai, lalu meluncurlah kesepakatan-kesepakatan dan menyusul materi-materi tentang Politik Agraria. Sebelumnya, saya hanya mengartikan mata kuliah ini dari kata dasarnya. Agraris. Berarti saya akan mempelajari tentang politik yang berhubungan dengan pertanian. Atau daerah-daerah di daratanlah. Tetapi nyatanya Agraria itu lebih menjurus kepada tanah. Maksudnya bahwa Politik Agraria itu mempelajari segala hal yang berhubungan dengan tanah. Mulai dari pokok-pokok kebijakan pertanahan nasional, problematika pertanahan, sampai hubungan kita dengan tanah, tanah dengan kita dan tanah dengan hukum. Karena itulah lahir Undang-undang tentang pertanahan.
Setelah menunggu tigapuluh menit kemudian, pertemuan pertama selesai. Hari menunjukkan pukul lima sore. Kebetulan hari itu saya sedang saum senin-kamis, maka saya putuskan ngabuburit dulu. Terlintas di pikiran saya untuk melintasi stadion utama Riau yang terletak di UR (Universitas Riau) Panam. Sebenarnya tujuan utama saya bukanlah melihat keramaian di sana. Saya ingin melihat reporter televisi yang sedang live. Tetapi keinginan saya belum kesampaian. Saya malah terjebak dalam jalanan yang macet dan mesti fokus ke depan. Yang hanya saya lihat sore itu adalah rombongan panjang yang mengenakan seragam seperti angkatan gitu berjalan iring-iringan menuju stadion UR.Entah Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut atau Angkat Berat. Hehe. Cukup jauh juga mereka berjalan. Setidaknya mulai dari gerbang depan UR. Mungkin siswa sekolah Taruna kali ya.
Lalu saya menyusuri jalan baru yang mengelilingi stadion. Sebenarnya, kemana keluarnya jalan baru ini, sudah saya bisa prediksi. Namun karena saya tiba-tiba menjadi ling-lung melihat orang yang banyak banget, disusul macet yang panjangnya sepanjang jalan kenangan, ditambah dengan rawungan beberapa sepeda motor yang memekakkan telinga, tak lupa juga bunyi letusan seperti mercun yang juga berasal dari sepeda motor. Belakangan ini baru saya sadar, ternyata bunyi tersebut berasal dari pengendara yang mengendarai motor matic. Nah, ketika saya kembali mendengar bunyi yang mengagetkan orang saja, maka saya langsung berburuk sangka pada pengendara yang mengendarai motor matic, saya mendadak menjadi lugu dan polos di area ini.
Saya jadi surprise sendiri ketika jalan baru yang saya tempuh sudah habis, saya sudah sampai saja di Jalan Garuda Sakti KM. 2. Tidak begitu jauh dari kampus saya UIN SUSKA. Setelah saya melirik arloji dan arloji melirik saya, pukul enam! Saya jadi blingsatan sendiri. Bentar lagi buka. Saya belum buat kolak, belum siapin piring, belum siapin gelas. Hehe. Sebenarnya bukan itu yang membuat saya jadi panik sendiri. Saya lagi pusing memikirkan di mana saya berbuka. Eits, jangan berpikir saya sedang memilih-milih cafe ini, cafe itu ya. Saya sedang memikirkan masjid yang paling damai dan sejahtera. Hehe. Partai kali.
Setelah merampas minuman dingin dari orang yang menjualnya atas dasar suka sama suka, saya segera meluncur ke masjid Arfaunnas, di kampus UR. Jaraknya dekatlah dengan stadion UR yang menjadi tempat penutupan PON malam ini. Air saya teguk, solat dan saya meninggalkan masjid.
Tadi ketika hendak bubaran di kampus, saya dengan beberapa teman sempat rembukan untuk melihat penutupan PON malam ini. Katanya, kalau datang agak malaman dikit bisa masuk tanpa feelah.
Setelah magrib dan menghabiskan beberapa takjil, saya pergi ke kos teman saya tersebut. Sujar dan Agus. Karena saya sedikit mengulur-ulur waktu, maka jadilah saya baru sampai di kos mereka tepat ketika azan isya. Sujar sudah pergi membawa girlfriendnya. Lalu tinggal Agus yang menunggu saya.
Isya beres lalu berangkat. Memasuki jalur Arengka I, keramaian mulai terasa. Macet tentu saja. Ibaratnya kalau berjalan, jalan selangkah berhenti setengah menit. Tidak setragis itu juga sesungguhnya, tapi setidaknya begitulah lebih kurang.
Setelah parkir, yang endingnya tidak begitu saya harapkan, saya mengikuti langkah Agus. Mulanya masih bisa saya sejajari, tetapi setelah ia menghubungi Sujar untuk mengetahui posisinya di mana, langkahnya berubah menjadi ... langkah seribu. Sudah beberapa sektor dan gate saya lewati, mulai sektor barat gate IV A, gate IV B, lalu sektor timur, gate ini, gate itu, sampai saya tidak ingat lagi sektor dan gate berapa saja sudah saya lewati. Malangnya, saya tidak mengingat di mana sektor awal saya berada tadi.
Di depan tangga yang akan membawa menuju masuk stadion, saya melihat orang-orang berkerumunan di sana. Saya kira mereka melihat ceremonial penutupan PON di sana. ternyata mereka berdesakan untuk masuk. Sebab, di saat-saat tertentu rupanya petugas akan membiarkan masuk tanpa syarat.
Saya cukup lama juga berada di luar stadion. Melihat orang-orang yang berjualan. Assesories PON yang paling mendominasi. Lalu beberapa lainnya yang saya temui pedagang kerak telor, minuman dingin sampai mobil lapangan sebuah televisi swasta. Sayangnya saya tidak mendapati mereka sedang live report.
Saya masih terus mengikuti langkah panjang Agus, yang ujung-ujungnya malah dia yang ngos-ngosan sendiri. Saya untungnya pake sepatu yang ringan dan punggung yang tanpa beban. Biasanya saya adalah orang yang paling rajin menyandang tas. Sehingga kalau dia mau mengelilingi stadion ini sampai pagi, saya siap. Alangkah sombongnya saya.
Kami berhenti dan memperhatikan keadaan sekitar. Sujar malah tak tahu lagi kabarnya. Jaringan malah hilang dan ia tidak bisa dihubungi. Selanjutnya kami berjalan lesu mengitari keramaian pasar malam PON. Sesekali saya melihat dari screen para atlet-atlet dari berbagai provinsi melambaikan tangan. Selanjutnya pak wapres ambil bagian berpidato, lalu berlanjut ke pak gubri. Waktu itu saya masih di luar. Sembari ceremonial itu berlangsung, mata saya tertuju pada anak balita yang terengah-engah jalan seorang diri. Awalnya saya melihat seorang yang berseragam, entah ia polisi atau tidak, mendekati anak tersebut dan menggumam sendiri dekat dia. “Ini anak siapa ya?” lalu polisi itu berlalu begitu saja.
Anak itu berangsur-angsur mendekat ke lapak mainana. Saya terhenti sebentar melihat apa yang mau dia lakukan. Sepertinya dia tidak rusuh kehilangan orang tuanya. Agus yang melihat saya terhenti, ikutan berhenti. Awalnya dia malah berdiri, kemudian berubah jongkok di depan mainan sana. Menjelang menit kelima, anak tersebut dipanggil penjual mainan. Ternyata dia anak mbak yang jual mainan. Walah.
Saya kembali berjalan santai dengan Agus dan tak lagi menghubungi Sujar yang tak tahu bagaimana kelanjutan kisahnya. Ketika tiba di sektor timur, saya lupa gate berapa, pintu masuk saat itu sedang terbuka. Saya dan Agus masuk berdesak-desakan. Kalau bukan saja niatnya untuk sebuah riset cerpen saya, saya bukanlah termasuk orang yang mengunjungi last party PON di kota ini.
Saya berhasil masuk dan Agus telah menunggu saya di tangga pertama. Lalu kami menaiki tangga sampai puncak. Kira-kira waktu itu saya mendaki sampai limapuluh anak tangga. Sampai di atas kepala saya pusing dan saya ngos-ngosan juga. Kalau diulang lagi sampai pagi, jelas saya tak akan sanggup. Haha.
Ketika tiba, orang sudah ramai berdesak-desakan di tribun. Saya awalnya tidak berniat mendekat, tetapi ketika sorak-sorai penonton membahana karena dari kejauhan saya melihat ada kobaran api, saya pun menyerusuk ke dalam kerumunan tersebut. Alhasil, tentu saja saya terjepit, sesak nafas dan butuh oksigen. Haha.
Setelah beranjak dan beranjak, sampai juga saya di kerumunan terdepan. Sayangnya tidak ada kursi yang kosong dan saya berdiri dengan ratusan penonton lainnya. Di sini saya juga menyaksikan beberapa anak kecil yang digendong orang tuanya terjepit ketika mereka mau keluar dan mesti melawan arus. Performance api selesai, lalu masuk artis ibukota. Mulanya saya melihat ada dua artis perempuan. Kalau tidak salah kayaknya Melly Guslow sama Titi DJ kali ya. Atau... Agnes Monica? Maaf deh kalau salah. Lagu yang dinyanyikannya waktu itu lagu inggris. Setelah itu masuk Ahmad Dani dengan lagu yang saya tidak tahu judulnya. Yang jelas ada kata-kata “Tuhan kirimkanlah aku...” sama lagu Aku Sedang Ingin. Lalu habis itu ada Ari Lasso dengan lagu Hampa dan Mengejar Matahari. Setelahnya, saya mendengar lagu Welcome to my paradise. Kayaknya yang nyanyi Ari Lasso juga. Ari Lasso turun, naik lagi dua penyanyi perempuan. Saya tidak tahu orangnya. Yang jelas dia membawa lagu wulan merindu. Entah dia solo atau duet. Soalnya saya melihat dari jarak seratus meter. Itupun dari belakangnya pula. Sehingga saya hanya melihat rok gaunnya yang sengaja dipanjangkan menyapu lantai. Mereka turun, lalu naik Geisha. Ketika penampilan Geisha inilah saya keluar dari kerumunan dan menuju tangga. Tujuannya untuk menghindari keramaian di tangga dan macet ketika keluar. Ketika saya melewati tribun dua, saya mendengar ada bunyi letusan kembang api. Pikiran untuk segera ke luar saya tunda dulu. Saya malah masuk ke tribun dua dan melihat pesta kembang api yang berdurasi sekitar limabelas menit. Di sini tidak terlalu ramai nyata. Tapi yang penting tidak ada terlihat orang yang berdiri berdesak-desakan seperti di tribun tiga.
Saya tidak menyaksikannya sampai habis. Saya beranjak ke luar, menuruni tangga yang mulai terasa antrenya dan kembali berada di luar stadion. Ternyata, saya terlambat menyaksikan ceremony formal penutupan PON. Sehingga momen awal-awal penutupan PON tidak bisa saya tulis di sini. Namun, untuk sekadar mengetahui yang mendulang banyak medali, ini duabelas besarnya (merujuk pada sebuah kompetisi di televisi swasta, hehe) :
1.   DKI Jakarta
2.   Jawa Barat
3.   Jawa Timur
4.   Jawa Tengah
5.   Kalimanatan Timur
6.   Riau
7.   Sulawesi Selatan
8.   Lampung
9.   Sumatera Utara
10.        Bali
11.        Sumatera Barat
12.        Sumatera Selatan

Permasalahan baru muncul. Agus yang tadinya saya tinggalkan bersama Sujar, hilang entah ke mana. Dihubungi juga tidak bisa. Jaringan susah banget. Lalu saya mulai merasakan keteledoran saya. Saya mulanya tadi di sektor mana? Soalnya setiap sektor mempunyai bentuk yang sama. Tangganya juga sama. Tempat parkirnya juga sama. Jadilah saya jalan-jalan sorang diri. Rasanya saya sudah mengelilingi stadion ini, tetapi saya tidak menemukan Agus dan tentunya lupa di mana parkir motor saya. Beberapa menit kemudian, Sujar menelfon saya. Katanya Agus sudah menunggu saya di parkir. Saya bilang saya lupa parkirnya di sektor mana. Sujar dengan gaya kesok tahuannya bilang di sektor timur. Hasilnya, saya malah bertambah nyasar. Kemudian sms Agus juga masuk. Katanya cari saja tangga yang agak tinggi. Sedikit membantu, tapi tetap saja rumit. Soalnya tangga di stadion kan biasanya sama saja. Saya mesti berputar-putar selama setengah jam. Selama itu pulalah Agus me-sms saya apakah sudah ketemu tangganya. Dan saya selalu membalas “Belum nih.” (Jangan bilang-bilang Agus ya, sebenarnya saat itu saya singgah dulu membeli mainan kunci PON yang dijual tiga sepuluh ribu. Gambarnya dua sisi, jadi saya pikir nggak mahal amatlah. Setelah itu saya beranjak dulu ke pedagang kerak telor yang harganya sepuluh rebo, lalu saya beli air dulu, dan duduk sebentar dulu. Hihihih. Sory berat ya Gus).
Saya tidak menemukan tangga tinggi yang dimaksud Agus. Lalu saya turun di tangga sembarang saja. Ketika itulah baru saya melihat tangga tinggi tersebut. Rupanya tangga tersebut tidak langsung menuju stadion. Saya harus menuruni sepuluh anak tangga yang melingkari stadion. Sebelum menuruni tangga pandangan saya sempat tertuju pada spanduk yang bertuliskan “SAMPAI JUMPA DI PON YANG KE XIX DI JAWA BARAT.”
Motor saya bertemu juga dan saya tidak mendapati Agus di sana. Lalu ada sms, dia bilang “Aku sudah dijemput Sujar.” Saya bilang tidak apalah. Saya teringat kalau tadi abang parkirnya ada ngasih kertas parkir. Malangnya, kertas parkir itu dibawa Agus. Agus tentu sudah tertawa senang di kosnya sekarang karena sudah terbebas dari kemacetan yang luar biasa. Sedang saya? Harus bersiap-siap masuk babak black team (Maksud loe).
Langsung saja saya bilang karcisnya terbawa teman. Dia sudah duluan.
“Ada STNK?” kata pak parkir.
Di dalam hati saya mendesis. “Malam ini toko fotokopi masih buka nggak ya?” siapa tahu saja pak parkirnya minta fotokopi stnk saya dan sekalian bilang “ini juga ada uang-uangnya dek.” Persis seperti perlakuan yang pernah di hadapi teman saya di kampusnya. Hanya saja dia meninggalkan kunci di motornya tersebut. (Ehm, buat yang merasa, sabar ya. Saya tidak berniat mengungkit masa lalu kok. Hihi.)
STNK saya keluarkan. STNK saya plasatiknya sudah terbelah dua, sehingga kertas STNKnya saya lipat tiga begitu juga dengan plastiknya. Hasilnya, pak parkir itu butuh waktu dua menit membuka lipatan STNK saya dan seketika meluberlah antrian motor di belakang saya.
Dua menit berlalu.
“Baik. Ini STNKnya dan maaf sedikit mengganggu.”
Setelah berhamdalah, saya mengucapkan terimakasih dan bersorak dalam hati. Kalau dipikir-pikir, bisa jadi jutawan langsung donk si pak parkir kalau pakai uang-uang pula. Uang parkirnya saja duaribu. Sejauh pandangan saya, ada duaribu sampai tigaribu motorlah yang parkir waktu itu. (atau lebih?).
Perjalanan saya selesai dan saya menuju rumah. Sayangnya, saat ini hp saya lagi tidak fit. Hp saya terback up karena saya salah tekan. Hasilnya saat ini hp saya masih diperbaiki dan saya harus berpuas diri dengan laporan tanpa foto. Terima kasih telah mengikuti perjalanan saya dan tinggalkan komennya ya... Piiis eh maksudnya Pliiiis. Salam.
Pada sebuah malam di akhir pekan. Ketika sebuah benda mati kelaparan dan saya kasih dengan ...

Sabtu, 26 Mei 2012


Pintu Langgar Terkunci
Ilham Fauzi

Kekhawatiran ini semakin meraja ketika bus yang membawaku pulang melewati deretan pohon-pohon  karet yang berjajar rapi. Tidak seberapa lama lagi aku tiba. Senyap kehidupan begitu terasa. Yang tersapu oleh mata hanya gurat-gurat wajah tua yang terus telaten mencukurkan pisau dodos ke batang karet. Mengharapkan keterusan hidup dari tetes-tetes getah yang memenuhi batok kelapa. Sedang wajah-wajah segar yang baru saja muncul mengisi peradaban, sama sepertiku. Meninggalkan tanah ini dan berniat mengubah kehidupan di keramaian kota.
Resah menghinggapi jiwa. Aku perkirakan kemungkinan yang akan terjadi nanti. Sebulan lalu saat ibu mengabarkan bahwa paman Yudi, adik bungsu ibu, meninggal diserang penyakit paru-paru. Paman Yudi seorang perokok aktif, membuatnya tak bisa bertahan lama. Waktu itu aku kemukakan bahwa aku tak bisa pulang. Sebab kuliahku benar-benar susah untuk ditinggal. Apalagi mata kuliah statistik. Sekali saja tidak masuk, maka nilaiku terancam C. Alasan itu aku sampaikan pada ibu. Meski di ujung telepon aku sempat menangkap nada suara ibu yang kecewa. Aku hanya mendesah. “Maafkan Ulis ya Allah. Semoga Ulis tidak kehilangan cinta-Mu.”
Kini ketika liburan semester ganjil datang, aku bertekad menuntaskan hutangku itu. Meminta maaf pada bibi Ais, istri paman Yudi. Semoga dengan kehadiranku yang tidak lama di rumah, bisa menuntaskan rasa bersalah itu.
Aku melirik pergelangan tangan. Pukul setengah satu. Waktu zuhur pasti telah masuk. Perjalanan ada dua puluh menit lagi. Kusandarkan tubuh di kursi bus yang terus memudar warnanya dengan kain yang lusuh. Kaca kiri-kanan berkabut debu. Atasnya terus mengusam. Dicampur dengan asap bus yang masuk ke dalam. Kadang aku iri dengan transport luar negeri seperti Mesir, Eropa juga Amerika yang menggunakan kereta api bawah tanah yang nyaman dan bersih.
Pikiranku melayang kembali pada rumah. Aku membayangkan Akbar, adik bungsuku, akan menanyakan oleh-oleh. Anne, adik yang tertua muncul dengan menanyakan novel The Da Vinci Code yang sudah lama ia idam-idamkan. Dan Fiji, terpaut dua tahun dibawah Anne, meminta notebook dan bermain game di sana. Lalu aku teringat pada langgar di sebelah rumah. Enam bulan yang lalu, meski langgar tidak begitu ramai dikunjungi waktu shalat berjamaah, ataupun dengan anak-anak yang mengaji, namun langgar tetap hidup. Ada Bang Izai di sana yang menungguinya dan mengaktifkan langgar. Bang Izai tidak bergaji untuk itu. Ia dulu kuliah di tempatku sekarang. Juga menjadi aktivis kampus. Maka dengan semangat itulah Bang Izai masih tetap bertahan untuk terus memberikan nafas pada langgar. Saat ini Bang Izai bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dengan status masih honorer. Aku bertekad dengan kepulangan kali ini, bisa menambah jumlah anak yang mengaji ke langgar dan jamaah yang bertambah banyak untuk shalat berjamaah.
Bus berhenti di depan pos ronda ujung jalan kampung. Aku mesti berjalan sepuluh menit. Antara keinginan melaksanakan shalat Zuhur dan menuntaskan dahaga berkecamuk hebat untuk segera ditunaikan. Aku semakin mempercepat langkah menuju rumah.
Melewati langgar, kudapati pintunya yang terkunci dengan gembok besar. Kemana Bang Izai? Rasanya Zuhur baru terlewat beberapa menit. Selanjutnya mataku terbelalak tak percaya ketika melihat keramaian orang yang memasak di halaman rumah. Ibu melihat kedatanganku tergopoh-gopoh mendekat. Diikuti pasangan mata tetangga yang sibuk memasak. Aku tak butuh penjelasan lagi. Setelah mencium tangan beliau, aku berujar pendek. “Uli belum shalat Bu.”
Sebenarnya hatiku begitu risih dengan acara di rumah yang tak aku sangka-sangka itu. Acara menyeratus hari kepergian Paman Yadi. Aku heran, Bibi Ais adalah guru agama. Apa ia tidak tahu tentang hukum ini. Atau… tidak! Tidak mungkin ia tak bisa menolak acara yang sudah menjadi tradisi di kampungku ini. Ah, awal yang tidak menyenangkan begitu aku kembali menghempaskan kaki di rumah. Sebuah awal yang membuatku takut akan kehilangan cinta Rabb-ku.
Dengan alasan lelah, aku minta izin pada ibu untuk istirahat. Sepertinya ibu belum menangkap gurat lain di mataku. Ah ibu, andai ibu tahu betapa hal ini tak ada gunanya. Bukankah ini hanya merusak ketenangan almarhum di alam sana. Aku bisa pastikan apa yang ada di atas pusara Paman Yudi sekarang. Peralatan makanan seperti piring, sendok, gelas pasti telah berada di sana. Tujuannya agar keluarga yang ditinggalkan bisa melupakan almarhum. Tradisi ini memang sudah ada sejak dulu. Sebab kampung ini tidak terjamah dengan nuansa religius.
Ketika aku mengenal tarbiyah di kampus, pandanganku mulai berubah. Membaca sirah sahabat dan memahami kehidupan Baginda Nabi membuatku tersadar akan bagaimana sejatinya sebuah hidup. Masih kuingat kata-kata Mbak Desy, kakak mentoring, saat aku pamit untuk pulang. “Meski dakwah dunia kampus untuk sesaat berhenti, namun adek jangan lupa bahwa di kampung tarbiyah tetaplah harus berjalan. Jangan pernah down dan jadikan tempat sekitar  sebagai ladang dakwah. Tujuan kita adalah untuk mendapatkan cinta yang benar-benar putih dari-Nya bukan?” ujar Mbak Desy tersenyum. Benar-benar menyejukkan rongga jiwa.
Ah, harusnya ibu berada di sini. Memelukku dengan penuh cinta. Mendengarkan hari-hariku yang penat. Hari-hari yang penuh keluh kesah. Saat-saat aku diberi ujian dengan fitnah manusia. Mengatakan bahwa aku anak rohis malah berpacaran dengan seorang ikhwan. Betapa aku merindukan ibu mengatakan “Ibu percaya dengan anak gadis Ibu yang tak akan menduakan cinta-Nya sebelum waktunya datang.”
Aku memejamkan mata. Sementara  di luar sana suara orang-orang memasak untuk acara nanti malam semakin riuh.
***
“Abang sekarang sibuk Ulis. Menjadi guru PNS itu berbeda dengan honorer. Kerjaan Abang lebih banyak.”
“Tapi Abang kan masih bisa menghidupkan langgar di waktu shalat-shalat tertentu bukan? Tidak memati totalkan seperti ini.”
“Ah Ulis. Realistis saja. Abang tidak digaji. Jamaah yang datang ke langgar pun dua, tiga orang.”
“Investasi akhirat Bang. Masa’ Abang kalah di medan perang.”
“Ulis, Ulis. Bukannya Abang kalah. Niat untuk menghidupkan langgar sangat kuat. Namun jika hanya Abang sendiri, Abang tak akan sanggup terus bertahan Ulis. Bukannya Abang lupa jalan pulang. Memang memakmurkan agama-Nya agar terus mendapatkan cinta-Nya sebuah keharusan Ulis. Tapi untuk di sini…” suara Bang Izai, aktivis yang berjaya pada masanya, terdengar hambar.
"Jika mengajak warga di sini untuk ke langgar memang susah, kan anak-anak berbeda Bang. Mereka pasti…”
“Sudahlah Ulis. Besok-besok Ulis bakal tahu juga.”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Bang Izai mengangkat bahu, tidak berniat menjelaskan. Kemudian bangkit menemui abang Rini.
“Rini ada titipan Bu. Sayang kalau ditunda-tunda.” kataku tadi pada ibu. Tentu saja alasannya bukan itu.
“Boleh. Asal jangan tidur di sana saja.” jawab ibu sambil terus sibuk mengatur ini itu. Aku melihatnya dengan risau.
Sampai di rumah Rini, aku berencana menumpahkan segala uneg-uneg yang mendera. Rini juga kuliah di tempat yang sama denganku. Namun berbeda jurusan. Ia lebih duluan pulang dariku seminggu yang lalu. Rumahnya hanya ditinggali oleh abangnya yang belum menikah. Kedua orang tua Rini sudah dipanggil-Nya. Yang aku salutkan dengan Rini ia semakin mendekatkan diri pada-Nya dan mempelajari islam secara utuh ketika kami sama-sama mulai memasuki dunia perkuliahan. “Tidak ada cinta yang abadi selain cinta dari-Nya Lis.” ujarnya.
Lalu pada saat bersamaan, Bang Izai yang sejak tadi aku pertanyakan muncul untuk menemui Bang Fakih, abang Rini. Maka pertanyaanku tak bisa lagi aku bendun. Bukan jawaban yang memuaskan yang didapat. Malah keluhan Bang Izai yang pesimis bahwa langgar tak bisa lagi diteruskan. Semakin hari semakin tidak ada yang datang ke langgar. Alasannya? Sibuk dengan urusan dunia.
Andai mereka tahu akan luar biasanya shalat berjamaah. Andai mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan cinta-Nya yang sungguh jauh lebih berharga akan kecintaan pada dunia semata. Dan andai mereka tahu, tak ada cinta yang sempurna selain cinta hanya pada-Nya.
Pukul delapan malam orang-orang mulai ramai di rumah Bibi Ais yang berada di sebelah rumahku. Kaum laki-laki mengisi tempat duduk yang dihadapannya telah terbentang sprah putih dengan berbagai makanan. Sementara kaum wanita sibuk di belakang menyajikan makanan.
Acaranya sama halnya dengan syukuran kecil. Yakni dimulai dengan makan seperti biasa dan diakhiri dengan do’a untuk almarhum. Kembali aku mendesah. Apakah cukup hanya dengan do’a, sementara perintah utama-Nya saja tidak dituruti. Bagaimana akan dikabulkan sebuah do’a jika cinta untuk-Nya saja tidak ada. Dan bukankah jauh lebih bijak jika mendo’akan almarhum dilakukan setiap waktu terutama seusai shalat fardhu. Bukan dengan mengadakan acara syukuran yang memakan banyak biaya. Pemikiran itu terus kupendam. Bila  mempedebatkannya apalagi dengan ibu, aku benar-benar takut nanti jika akhirnya aku kehilangan cinta-Nya.
***
          Apa yang dikatakan Bang Izai benar adanya. Kedai baru yang berdiri di dekat rumah Rini itu dimiliki oleh bapak kaya dengan perut menonjol. Di sana ramai dengan orang-orang yang nongkrong minum kopi, merokok, juga main kartu. Tv ukuran 29 inchi berbody tipis membuat orang-orang semakin betah di sana. Tempat itu memang dibuat senyaman mungkin. Bangunannya bertembok dan kursinya yang dilapisi busa. Bahkan kedai ini masih terus buka hingga subuh, sebab masih ramai dengan yang menonton bola.
Kampungku semakin renta dengan tingkah manusianya yang tak ingin mendapatkan cinta-Nya. Cinta itu terganti dengan yang lain. Terpaut akan kecintaan pada nikmat dunia saja.
Wajah-wajah polos itu begitu bersemangat ketika aku iming-imingi dengan belajar tambahan di rumah Rini. Mereka tak menolak diawali dengan belajar mengaji terlebih dahulu. Sesungguhnya aku berharap tempatnya di langgar. Namun setiap orang yang aku tanya menjawab tidak tahu ketika aku tanya sama siapa kunci langgar. Ibu, Bang Zai bahkan Pak Lurah.
          Hari-hari terus berjalan. Seperti biasa, menjelang waktu maghrib aku tiba di rumah. Hatiku mulai diselimuti bahagia. Jundi-jundi kecil itu bersemangat ketika aku ajari mengaji.
“Mbak Ulis kemana saja sih? Kita juga masih pengen terus belajar mengaji. Cuma gak ada yang ngajarin.” sahut bibir-bibir mungil itu.
Aku hanya tersenyum. Sekarag bibit-bibit itu sudah ditanam. Jika mereka akan terus disirami, pasti berbunga, tumbuh menjadi pohon yang meneduhi dan memberikan manfaat kepada banyak orang.
Seperti sore-sore sebelumnya, menjelang maghrib aku tiba di rumah.
“Apa yang kamu lakukan di rumah Rini, Ulis?’ ibu menatapku tajam.
“Ulis memberikan les Bu.” jawabku santai.
“Hanya itu? Lalu kenapa obrolan ibu-ibu yang ke sini tadi mengatakan kamu tak mengajar selain itu.”
‘’Bu, Ulis mengajarkan mereka mengaji. Apa itu salah?”
Ibu diam sejenak. Seperti memendam sesuatu. “Tapi orang tua mereka tak menghendakinya Ulis. Jika kamu minta digaji, mereka bersedia membayar. Tapi ajari mereka pelajaran sekolah saja. Soal mengaji tidak usah. Mereka tidak butuh.”
Wajahku mengkerut marah.
“Jadi Ibu juga tak mendukung Ulis?”
“Sudahlah Ulis.” Ibu mengedarkan pandangannya kesekeliling. Bisa kurasakan getaran sayang itu masih jelas. Namun aku maklum, ibu juga tak punya daya untuk itu.
Aku menunduk. Air mataku meronta ditumpahkan. Kembali aku teringat akan petuah-petuah Mbak Desy. “Dakwah ini memang jalan panjang. Begitu juga untuk menggapai cinta-Nya. Butuh waktu yang juga panjang. Tetaplah istiqamah, tetaplah berada dalam kawah cinta-Nya dan lakukan semua untuk mengekalkan cinta-Nya.”
***
Ibu melarangku untuk tidak mengajari anak-anak itu lagi. Sore ini aku hanya terdiam di rumah. Pintu diketuk dan ibu membukanya. Pak Lurah. Ibu mempersilahkan duduk. Setelah sedikit cengengesan, ia menyampaikan misinya.
“Langgar bisa saja dibuka. Begitu juga dengan pelajaran mengaji. Semuanya bisa dilakukan di langgar kapanpun.”
Aku tersenyum. Terima kasih Ya Allah atas hidayah yang tiba-tiba ini.
“Tapi Ulis harus bersedia didekati Tardi anaknya Pak Busra, orang kaya pemilik kedai baru itu. Mungkin selanjutnya kalian bisa pacaran dan …” Pak Lurah itu cengengesan lagi.
Wajahku berubah gusar. Sementara Pak Lurah terus tertawa tidak jelas menanti jawabanku.
***
Ah, tidak ada yang benar-benar membahagiakan jika telah merasakan kehangatan cinta dari-Nya. Lalu, tak ada yang lebih menyejukkan dari kata-kata cinta-Nya yang disuarakan lewat firman-firman-Nya, walau dibanding dengan lembut sepoi angin yang melambai dan memberikan sejuk ke seluruh jiwa.
Pintu langgar memang akan terus terkunci. Asaku untuk menjadikan langgar di kampung sebagai tempat untuk mengharapkan cinta-Nya yang lebih besar, belum terwujud.  Biarlah cinta manusia itu aku tolak dan pintu langgar tidak bisa dibuka. Aku tak yakin jika menerimanya nanti, cinta untuk-Nya akan terus berpijar.***
                                                                          Panam, akhir Februari 2012

Juara III Lomba Cerpen Islami Tema Sang Maha Cinta FLP RIAU

Selasa, 31 Januari 2012


Bayi-bayi Merah
                                                    Cerpen by : Ilham Fauzi

Jika kondisi negeriku tak memprihatinkan begini, tentu aku tak akan menjadi salah satu tokoh utama. Setiap hari mesti ada janin dibuang atau bayi dibunuh. Setiap jam mesti ada praktek aborsi. Lalu setiap menit, mesti ada hubungan yang tak seharusnya dilakukan. Inilah budaya negeriku. Bukankah hal seperti ini biasanya hanya ada di belahan bumi barat sana?
Dalam ruang tak bernyawa, aku menggeliat lemah dengan gelimang basah darah merah. Tenang memusatkan pikiran. Membangkit raga meninggalkan tempat ini. Aku perlu sekelumit waktu. Menghadirkan semua kekuatan yang perlahan sempurna menuju kosong. Pada titik kulminasi, tarikan pegas hadir sempurna. Tubuhku mencuat. Aku datang menjenguk bumi. Mengunjungi kehidupan, menyinggahi peradaban, dan dengan terseok-seok meninggalkan ruang tanpa manusia.
Aku mengunjungi orang-orang yang berbalut dekil menawarkan kertas-kertas di lampu merah, atau yang memasang tampang iba sembari meletakkan sebuah wadah di atas tangan. Merasa orang yang melahirkanku tak ada di sana, aku menyerusuk ke pasar yang tak jauh. Aku terseret ke tempat gelap. Di sana kuciumi asap rokok, bau alkohol, lalu semacam barang yang tak seharusnya dikonsumsi manusia, belakangan aku mencium … anyir sperma! Terakhir sebelum aku meninggalkan tempat itu, aku mendengar desah manja seorang wanita dari ruang tertutup. Aku terhenti tapi kemudian meneruskan langkah. Bukan orang yang perlu aku temukan.
Ah, andai sang wanita muda tak meninggalkanku sendirian di tong sampah, dan tidak membiarkan kulitku dilumat serigala, aku tak perlu melihat sebagian kecil dari tingkah-tingkah kotor manusia ini. Dalam lumur kering merah marun aku kembali berlayangan. Mencari sang wanita.
Bau amis dan darah hebat melekat. Aku melihat jubelan daging di atas meja-meja beralaskan mika. Di sebuah pojok, dengan sudut mata aku melihat daging yang tak seharusnya di sana. Daging babi. Aku merangsek meninggalkan onggok-onggok daging itu. Menuju tempat yang lebih kering. Suara bising menggema dimana-mana. Teriakan, juga ocehan ibu-ibu yang menawar harga atau membicarakan apa saja. Aku kembali melesat.
Detik-detik merangkak gemulai. Meninggalkan hari yang sisakan selaksa episode. Malam arungi bumi. Aku kembali ke tempat siang tadi. Lampu merah. Sejenak diam. Ditemani tetes-tetes embun yang berdatangan menuju pertengahan malam. Mengharap seorang wanita hadir. Namun tak ada getar batin terasa. Aku lihat gadis muda dengan lelaki paruh baya bercengkrama mesra. Di titik sempurna malam, ramai semakin menjadi-jadi. Ramai dengan para pria dan wanita yang menjamah waktu dalam gulatan hitam. Inikah lingkungan dan kebudayaan manusia itu sebenarnya?
Aku berniat meninggalkan tempat ini. Bersiap melaju ke tempat yang dihuni orang-orang putih. Namun cahaya itu kilau sekali. Menembus mata hingga selaput jala berontak perih. Apa waktuku sudah habis? Cepat sekali. Badanku melemah. Aku tak lagi berlayangan. Tersungkur mengecup tanah.
Dalam gelap aku menggerakkan raga. Aku kembali berada di sini. Ruang tak bernyawa. Terdengar suara gaduh para bayi. Aku melihat mereka. Mereka tertawa. Tak ada tangis seperti bayi-bayi merah yang lahir ke dunia. Aku melayang ke arah mereka.
“Apa kalian tidak mencari ibu kalian?” tanyaku.
Jawabanku direspon oleh seorang bayi yang berkulit gosong.
“Buat apa aku mencari mereka. Apa kau tak lihat apa yang terjadi padaku?”
Aku memperhatikan para bayi itu. Tak hanya gosong. Ada bayi yang masih bergelimang air tuban. Berbau busuk sampah. Lalu ada yang membeku karena dingin. Semuanya masih dibalut dalam bauran merah pekat darah. Aku di sana sejenak. Memperhatikan mereka yang terus tertawa dan berkejaran sambil melayang-layang.
Kemarin ketika ruang tak bernyawa menghantarku menuju bumi aku tak  memperhatikan tempat ini. Ruang yang besar. Aku mendekati cermin raksasa. Kami sejajar. Ia mengeluarkan gambar-gambar abstrak dengan siluet hitam putih. Tapi tak lama. Kemudian aku melihat gambar sosok wanita. Dan… aku terkesima.
***
“Aku pergi.” ujarku lama kemudian.
“Kau mau kemana?!” ujar bayi gosong lagi.
“Mencari ibuku.”
“Dia meninggalkan kau seperti ini. Berdarah-darah karena dimangsa serigala.”
Aku tak peduli lalu pergi. Meninggalkan bayi-bayi merah. Wanita itu sekarang sudah jelas. Aku akan menemuinya. Setelah semua selesai aku akan kembali ke ruang tak bernyawa. Tempat tak ada yang berbuat dosa. Tak ada yang membunuh. Tak ada yang melakukan perbuatan bodoh. Tak ada yang menjual diri. Tak ada yang menjadi pembohong. Tak ada yang mengelabui manusia. Semuanya tak ada.
***
Aku dalam perjalanan menuju ruang tak bernyawa setelah menghujam lambung seorang wanita dengan sebilah belati. Di bawah terik aku melayang rendah. Misiku selesai. Aku lega telah membawa wanita itu ke duniaku. Tapi sayang, tempatnya bukan di ruang tak bernyawa. Perjalanan dalam gelimang panas ini berakhir. Tidak  lagi aku berkubang dalam dingin dan tetes-tetes keringat yang menguar tawar di sela-sela pori. Tidak lagi aku melihat ulah-ulah bodoh manusia. Dan cukup kali ini aku berurusan dengan dunia fana manusia. Walau kusesali, kenapa aku harus jadi korban lingkungan dan budaya yang semakin melarat. Perzinaan, perkosaan, dan seks bebas. Aku korban dari semuanya. Pelan tetes air mataku jatuh menyepah bumi.
Aku tiba di ruang tak bernyawa. Terbelalak kaget melihat bayi-bayi merah yang bertambah banyak. Bergumul merah darah dan bau asin dalam bentuk mengenaskan.
“Kau korban baru dari peradaban manusia ya?” tanyaku pada seorang bayi.
Dia mengangguk. “Lingkungan dan budaya negeri ini semakin gila.” katanya kemudian.
“Apa kabar bayi-bayi kecil?”
Aku menoleh ke pemilik suara.
“Kita bertemu lagi sayang.” ujarnya lirih.
“Ibu?” aku tak percaya.
Ia tersenyum misterius dan mendekat.***

Fragmen cermin raksasa. Epilog.
Aku perhatikan wanita itu baik-baik. Ia lari di kegelapan. Melihat-lihat ke belakang seperti orang yang diuntit. Ia berhenti di dekat tong sampah. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Yah, bungkusan bayi. Ia memasukkanku ke sana dan pergi. Belum  jauh ia melangkah, aku melihat sosok wanita berdiri di hadapannya. Wanita yang raut mukanya tak jauh beda dengan wanita yang menaruhku di tong sampah.
“Kau telah membuat papa tiada sayang.” bisiknya pelan. Di tangannya ada sebilah belati. Aku melihat bayangan malaikat maut membawa roh ibuku. Aku menangis keras. Pandangan sang wanita beralih ke arah tong sampah. Kemudian dia mendekat.

* Juara 1 dalam Lomba Cerpen Tema Lingkungan dan Budaya dalam Semarak GAGASAN 18TH. Diadakan oleh GAGASAN. Koran Kampus UIN SUSKA Riau.