Selasa, 31 Januari 2012


Bayi-bayi Merah
                                                    Cerpen by : Ilham Fauzi

Jika kondisi negeriku tak memprihatinkan begini, tentu aku tak akan menjadi salah satu tokoh utama. Setiap hari mesti ada janin dibuang atau bayi dibunuh. Setiap jam mesti ada praktek aborsi. Lalu setiap menit, mesti ada hubungan yang tak seharusnya dilakukan. Inilah budaya negeriku. Bukankah hal seperti ini biasanya hanya ada di belahan bumi barat sana?
Dalam ruang tak bernyawa, aku menggeliat lemah dengan gelimang basah darah merah. Tenang memusatkan pikiran. Membangkit raga meninggalkan tempat ini. Aku perlu sekelumit waktu. Menghadirkan semua kekuatan yang perlahan sempurna menuju kosong. Pada titik kulminasi, tarikan pegas hadir sempurna. Tubuhku mencuat. Aku datang menjenguk bumi. Mengunjungi kehidupan, menyinggahi peradaban, dan dengan terseok-seok meninggalkan ruang tanpa manusia.
Aku mengunjungi orang-orang yang berbalut dekil menawarkan kertas-kertas di lampu merah, atau yang memasang tampang iba sembari meletakkan sebuah wadah di atas tangan. Merasa orang yang melahirkanku tak ada di sana, aku menyerusuk ke pasar yang tak jauh. Aku terseret ke tempat gelap. Di sana kuciumi asap rokok, bau alkohol, lalu semacam barang yang tak seharusnya dikonsumsi manusia, belakangan aku mencium … anyir sperma! Terakhir sebelum aku meninggalkan tempat itu, aku mendengar desah manja seorang wanita dari ruang tertutup. Aku terhenti tapi kemudian meneruskan langkah. Bukan orang yang perlu aku temukan.
Ah, andai sang wanita muda tak meninggalkanku sendirian di tong sampah, dan tidak membiarkan kulitku dilumat serigala, aku tak perlu melihat sebagian kecil dari tingkah-tingkah kotor manusia ini. Dalam lumur kering merah marun aku kembali berlayangan. Mencari sang wanita.
Bau amis dan darah hebat melekat. Aku melihat jubelan daging di atas meja-meja beralaskan mika. Di sebuah pojok, dengan sudut mata aku melihat daging yang tak seharusnya di sana. Daging babi. Aku merangsek meninggalkan onggok-onggok daging itu. Menuju tempat yang lebih kering. Suara bising menggema dimana-mana. Teriakan, juga ocehan ibu-ibu yang menawar harga atau membicarakan apa saja. Aku kembali melesat.
Detik-detik merangkak gemulai. Meninggalkan hari yang sisakan selaksa episode. Malam arungi bumi. Aku kembali ke tempat siang tadi. Lampu merah. Sejenak diam. Ditemani tetes-tetes embun yang berdatangan menuju pertengahan malam. Mengharap seorang wanita hadir. Namun tak ada getar batin terasa. Aku lihat gadis muda dengan lelaki paruh baya bercengkrama mesra. Di titik sempurna malam, ramai semakin menjadi-jadi. Ramai dengan para pria dan wanita yang menjamah waktu dalam gulatan hitam. Inikah lingkungan dan kebudayaan manusia itu sebenarnya?
Aku berniat meninggalkan tempat ini. Bersiap melaju ke tempat yang dihuni orang-orang putih. Namun cahaya itu kilau sekali. Menembus mata hingga selaput jala berontak perih. Apa waktuku sudah habis? Cepat sekali. Badanku melemah. Aku tak lagi berlayangan. Tersungkur mengecup tanah.
Dalam gelap aku menggerakkan raga. Aku kembali berada di sini. Ruang tak bernyawa. Terdengar suara gaduh para bayi. Aku melihat mereka. Mereka tertawa. Tak ada tangis seperti bayi-bayi merah yang lahir ke dunia. Aku melayang ke arah mereka.
“Apa kalian tidak mencari ibu kalian?” tanyaku.
Jawabanku direspon oleh seorang bayi yang berkulit gosong.
“Buat apa aku mencari mereka. Apa kau tak lihat apa yang terjadi padaku?”
Aku memperhatikan para bayi itu. Tak hanya gosong. Ada bayi yang masih bergelimang air tuban. Berbau busuk sampah. Lalu ada yang membeku karena dingin. Semuanya masih dibalut dalam bauran merah pekat darah. Aku di sana sejenak. Memperhatikan mereka yang terus tertawa dan berkejaran sambil melayang-layang.
Kemarin ketika ruang tak bernyawa menghantarku menuju bumi aku tak  memperhatikan tempat ini. Ruang yang besar. Aku mendekati cermin raksasa. Kami sejajar. Ia mengeluarkan gambar-gambar abstrak dengan siluet hitam putih. Tapi tak lama. Kemudian aku melihat gambar sosok wanita. Dan… aku terkesima.
***
“Aku pergi.” ujarku lama kemudian.
“Kau mau kemana?!” ujar bayi gosong lagi.
“Mencari ibuku.”
“Dia meninggalkan kau seperti ini. Berdarah-darah karena dimangsa serigala.”
Aku tak peduli lalu pergi. Meninggalkan bayi-bayi merah. Wanita itu sekarang sudah jelas. Aku akan menemuinya. Setelah semua selesai aku akan kembali ke ruang tak bernyawa. Tempat tak ada yang berbuat dosa. Tak ada yang membunuh. Tak ada yang melakukan perbuatan bodoh. Tak ada yang menjual diri. Tak ada yang menjadi pembohong. Tak ada yang mengelabui manusia. Semuanya tak ada.
***
Aku dalam perjalanan menuju ruang tak bernyawa setelah menghujam lambung seorang wanita dengan sebilah belati. Di bawah terik aku melayang rendah. Misiku selesai. Aku lega telah membawa wanita itu ke duniaku. Tapi sayang, tempatnya bukan di ruang tak bernyawa. Perjalanan dalam gelimang panas ini berakhir. Tidak  lagi aku berkubang dalam dingin dan tetes-tetes keringat yang menguar tawar di sela-sela pori. Tidak lagi aku melihat ulah-ulah bodoh manusia. Dan cukup kali ini aku berurusan dengan dunia fana manusia. Walau kusesali, kenapa aku harus jadi korban lingkungan dan budaya yang semakin melarat. Perzinaan, perkosaan, dan seks bebas. Aku korban dari semuanya. Pelan tetes air mataku jatuh menyepah bumi.
Aku tiba di ruang tak bernyawa. Terbelalak kaget melihat bayi-bayi merah yang bertambah banyak. Bergumul merah darah dan bau asin dalam bentuk mengenaskan.
“Kau korban baru dari peradaban manusia ya?” tanyaku pada seorang bayi.
Dia mengangguk. “Lingkungan dan budaya negeri ini semakin gila.” katanya kemudian.
“Apa kabar bayi-bayi kecil?”
Aku menoleh ke pemilik suara.
“Kita bertemu lagi sayang.” ujarnya lirih.
“Ibu?” aku tak percaya.
Ia tersenyum misterius dan mendekat.***

Fragmen cermin raksasa. Epilog.
Aku perhatikan wanita itu baik-baik. Ia lari di kegelapan. Melihat-lihat ke belakang seperti orang yang diuntit. Ia berhenti di dekat tong sampah. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Yah, bungkusan bayi. Ia memasukkanku ke sana dan pergi. Belum  jauh ia melangkah, aku melihat sosok wanita berdiri di hadapannya. Wanita yang raut mukanya tak jauh beda dengan wanita yang menaruhku di tong sampah.
“Kau telah membuat papa tiada sayang.” bisiknya pelan. Di tangannya ada sebilah belati. Aku melihat bayangan malaikat maut membawa roh ibuku. Aku menangis keras. Pandangan sang wanita beralih ke arah tong sampah. Kemudian dia mendekat.

* Juara 1 dalam Lomba Cerpen Tema Lingkungan dan Budaya dalam Semarak GAGASAN 18TH. Diadakan oleh GAGASAN. Koran Kampus UIN SUSKA Riau.                                      

Menyeka Kehidupan
“Sebuah Perenungan di Musim Liburan”
 
Satu hembusan nafas kelegaan kuhempaskan begitu saja. Semua selesai, semua berakhir, semua habis. Yah, keluh kesah dan titik keringat yang tak terhenti mengucur empat bulan ini. Aku bara saja terlibat dalam pertarungan seru dalam semester ini. Menyelesaikan segala persoalan dan hal yang bersangkut paut dengannya. Semuanya pecah dalam satu warna. Ketika tugas yang dibuat sampai pagi berakhir sia-sia, juga ketika tugas yang dikerjakan dalam rentang waktu yang sama dihargai dengan A. Semuanya berlanjut dengan abregan tugas-tugas yang dikumpul, mencari bahan-bahan, terkendala ketika buku yang dicari sulit ditemukan, merangkum semua sumber dalam kapasitas maksimal 20 lembar. Sungguh melelahkan. Belum lagi hal-hal bodoh yang dilakukan selama pengerjaan teknis. File yang kehapus, file yang kena virus, hingga kebuntuan dalam menyelesaikan. Semuanya memforsir otak, tenaga, dan kesabaran.
Aufhh, betapa leganya ketika bunyi gong nan keras itu bertalu-talu mengomandokan bahwa “Kau Ilham Fauzi, diberi waktu untuk mengistirahatkan pikiranmu yang mulai menggila”.  Ahahaha. Aku tertawa lepas.
Aku tak berhadapan dulu dengan gulungan-gulungan kertas yang diangkut ke sana-sini. Lalu dengan jubelan buku yang sungguh membuat punggungku pegal menentengnya. Namun hanya terhitung berpuluh hari saja. Setelahnya…
“Kita bertemu lagi sayang.” sapanya indah.
Yeah, aku menyadari ini adalah pilihan. Jika dulu aku memilih memasuki dunia kerja, tentu aku akan berada dalam kilau kisah yang berbeda. Mungkin aku akan berkata begini.
“Leader yang menyebalkan. Kerjanya membentak terus.”
“Pulang kerja capek sekali. Tenaga terus yang diporsir.” Atau…
“Malang sekali aku ini. Masih muda, masih imut, dan (oh) masih ganteng, sudah berkawan dengan tetes demi tetes keringat yang memancar lelah.
Ahahahaha. Lagi aku tertawa.
Lalu aku pergi. Meninggalkan sejumput penat dan lelah yang mendera. Mencari angin kepuasan yang bertiup tanpa aroma serius. Menemui gudang-gudang kerinduan yang belakangan ini terus-terusan datang memanggil. Lalu akhirnya aku kembali terpekur dalam endapan kisah. Membuat memoar yang sebelumnya bergelantungan berputar untuk diingat. Aku terbujur dalam kaku gerakan tanpa alur. Membiarkan pemikiran berlayangan tanpa arah, tanpa menuju akhir tujuan yang jelas.
Ah, namun berdiam diri tak selamanya mengenakkan. Hari-hari yang berlalu berjalan tanpa kemanfaatan. Tanpa ada sesuatu yang diproduktifkan. Lagi aku juga tak menginginkan suasana begini.
Kehidupan tetap terus berputar. Musim liburan masihlah lama. Meski ada gurat pertanda untuk mengisyaratkanku agar masih untuk tetap berada di rumah, namun semua terabaikan. Kita tak mesti harus terjebak dalam kubangan malas yang membuat kita berpendar di dalamnya hingga berlama-lama. Dalam hari-hari yang akan terus menjemput haruslah ada prioritas panjang dan pendek yang wajib terealisasi. Hingga realitanya nanti membuat penghidupan kita tidak sia-sia, dihargai orang, dan mendatangkan keberkahan, kebaikan, dan semangat.
Berdiam diri dengan alasan ketidakberdayaan bukanlah sesutu yang bijak.
“Ah, aku kan masih liburan. Nggak apa-apalah di kampung dulu. Bangun siang, habis itu makan, jalan-jalan, nonton, dan tidur.” Ah, itu tidaklah mengagumkan.
Namun jika “Aku di kampung bantu orang tua. Bantu ini, bantu itu.”
Alasan yang valid juga. Tapi bantu orang tuanya tidak seharian bukan? Paling setengah hari. Lalu separoh hari ini akan berpeluang untuk berhura-hura. Oh jangan!
Meski di kampung, kita tetap dapat melakukan hal yang berguna. Bantu orang tua pasti. Melakukan sesuatu yang lain yang dapat mendatangkan ibrah juga. Menulis bisa jadi pilihan. (ehm).

Akhir Januari 2012. Saat kering begitu hebat mendera. Namun tak apa, asal jangan kering keimanan. :))

Senin, 30 Januari 2012


Cerita Dari Al-Quds
                                                                          : Karya Ilham Fauzi

Negeri Para Nabi. Bumi Al-Aqsa. 1420 H.
Dzulhijjah menuju penghujung. Menutup selaksa episode nan lelah menggores. Berselang hari, Muharam kembali datang. Melantunkan gema lembut. Menggantikan sisiran kisah-kisah di bulan-bulan sebelumnya. Saat pedih dan bahagia memberi warna. Memberi harap dan tekad baru agar dihadirkan kisah dari lantunan do’a. Semoga percik-percik kebaikan tak pernah surut menghampiri.
Namun bagaimana dengan sebuah negeri yang berada di pesisir laut tengah benua Afrika. Diserpih kedinginan sejak Zulkaidah memasuki. Tak ada aroma gurun mempertajam dahaga. Pun tarian pasir mempertontokan badainya berputar-putar mengerikan. Di penghujung tahun, hawa panas tak begitu hebat menjalar. Takluk karena  kedinginan begitu berkuasa merasuk ke sumsum tulang. Namun tetap saja daun-daun kurma dan zaitun tak segar menghijau. Mereka tertunduk tak semangat. Bukan hanya karena dingin bercokol di titik 10 derajat celcius. Namun karena sebuah luka. Luka yang tak berhenti mencecerkan darah. Luka di tanah Al-Quds.
 -Amir-
Aku memimpikan itu. Ketika kami melewati matahari pertama di bulan Muharam tanpa mendengar  bunyi-bunyi peluru yang hilir mudik mencari alamat. Semuanya mesti terus terjadi. Peluru itu akan terus  berdansa memuntahkan timah panas. Semua tak akan terhenti. Hingga kini aku sepuluh tahun, tak ada sedikit jeda untuk tanah ini didiamkan dari desing-desing yang menyesakkan dada.
Semua tak kami kehendaki. Walau begitu, di penghujung Hijiriah ini aku, abi, umi, dan Afuf, adikku, akan mengadakan pesta kecil-kecilan seusai subuh. Di sini tak akan ada peringatan besar-besaran yang menandakan Zulhijjah telah berlalu. Sebab penjajah tanah ini tak akan membiarkan semuanya berlalu dengan aman. Mereka akan menambah luka lagi.
Abi membangunkanku dan Afuf seperti biasa. Kami sholat subuh berjamaah. Abi akan larut sebentar dalam zikir al-matsurat pagi. Sementara aku dan Afuf bergeming nakal. Selesai itu, abi membukakan pintu dan kami mulai “berpesta”. Menunggu fajar Muharam menyemburat.
“Tahun baru datang lagi Abiiii!” aku meneriakkan itu yang juga disusul oleh Afuf dengan terpatah-patah. Ia baru berumur dua tahun. Umi akan sibuk menyajikan makanan yang lain dari biasa.  Tahun lalu umi membuat daging panggang flatbreads1. Untuk sekarang aku meminta manakeesh.2.   
Kami memasaknya di luar dan mengangkut barang-barang yang diperlukan. Abi menyalakan api unggun. Kecil saja. Suasana gelap adalah target yang mengempukkan bagi tentara yahudi melenyapkan kami. Serangan-serangan biadab itu biasanya dilancarkan ketika gelap masih mengepul. Yang paling khawatir adalah abi. Hanya untuk satu kali ini saja abi mengizinkan.
“Aku bukan anak kecil lagi Abi. Aku sudah menjadi abang sekarang. Aku tak takut  berhadapan dengan zionis-zionis itu.” sebuah protesku pada abi yang pernah aku lontarkan. Abi hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Tak mengatakan sepatah katapun.
Dingin masih berkuasa dengan tahtanya. Umi menggelar tikar pandan di bawah pohon kurma yang daunnya sangat lebat. Abi menenteng kompor mini. Dibantu Afuf dibelakangnya. Mengangkut bahan-bahan untuk manakeesh. Seperti minyak zaitun, oregano3, bawang, rempah-rempah dan saus panas. Selain itu juga diselingi dengan yogurt sederhana buatan umi dan chai 4 hangat. Aku menceritakan segala keinginan yang harus terwujud tahun ini. Aku harus hafal lima juz lagi. Mempelajari AK-47. Afuf juga bercerita tentang keinginannya. Kami hanyut dalam tawa hingga nanti pagi benar-benar sempurna dalam kilauan terang.
“Bang Amir! Gelas untuk chai masih didalam. Tolong ambilkan.” Afuf menyela dengan suara cadelnya.
“Baiklah.” ujarku sambil melangkah ke dapur yang agak jauh ke belakang.
Aku kembali dari dapur dengan membawa teko berisi chai hangat dengan hati-hati. Keseimbanganku menggoyah ketika dentuman keras menggetarkan tanah. Aku terpaku namun tak perlu lagi mengeluarkan tanya. Roket-roket keji itu mengunjungi rumahku. Tepatnya menghantam pekarangan rumah dimana abi, umi, dan Afuf tengah berada. Dengan hentakan kaki yang bergerak kilat, aku merangsek ke depan.
Abi, umi dan Afuf terpental dalam leleran darah yang membanjir. Sedangkan deru-deru pesawat yahudi mulai menjauh. Aku mulai terisak-isak. Terduduk sambil memeluk lutut. Aku tak sanggup mendekati mereka. Sungguh tak sanggup. Aku hanya menatapi minyak zaitun yang dibawa Afuf tertumpah. Daging-daging yang akan dipanggang umi terpental. Kompor mini abi tersungkur, sujud di pasir. Aku mulai menangis. Semakin mengeras. Semuanya menyisakan pedih yang menghujam.
***
Gaza dalam merah. 1432 H.
-Nur Putih-
Atas perintah Tuhanku, aku melesat menuju bumi. Seperti biasa, mencatat apa yang diperbuat manusia di tanah milik pencipta mereka. Namun tak hanya itu, aku datang untuk menjemput kalian. Mengambil ruh dalam dua keadaan. Keadaan sebaik-baik rupa. Ditangisi banyak orang. Disholati dalam banyak shaf. Bahkan terus dikenang. Atau bisa jadi ketika kalian dalam keadaan seburuk-buruk rupa. Menggumpal dalam beku darah. Mengonggok dalam tumpukan daging yang mengaroma busuk. Atau dalam keadaan yang sangat menyedihkan.  Hina dalam pandangan manusia bahkan mungkin juga hina dalam pandangan Rabb-ku.
Gaza meremang pekat. Aku tiba di tanah kematian ini. Tanah seluas 360 km2. Kembali aku bertasbih memuja Rabb-ku. Tempat ini benar-benar gelap bagi kalian ukuran manusia. Ritme kehidupannya tak terlihat menghembuskan nafas. Sama halnya ketika aku melintas di Tepi Barat. Bahkan Baitul Maqdis yang mampu menampung hingga dua ratusribu umat, sunyi tak bernyawa. Mendiam. Menyatu dalam bekuan dingin.
-Nur Putih-
Mereka memanggilnya dengan Amir. Aku mencatat ia yang selalu terjaga dalam sujud panjang disepertiga malam terakhir. Melantunkan hafalannya yang sempurna 30 juz. Wajahnya kilat bercahaya. Tak salah Tuhanku mengatakan bahwa manusia adalah sebaik-baik mahkluk. Tapi hanya manusia-manusia pilihan-Nya.
“Amir, bagaimana kalau kita melakukan pengungsian dulu ke Tepi Barat. Di sana kita bisa menyatukan semua kekuatan yang berada di Betlehem, Hebron, Ramallah juga di Jerusalem. Setelah itu kita bisa kembali ke sini merebut Gaza. Bukankah Allah akan terus bersama kita.”
Wajah yang masih muda itu menatap ke wajah yang baru saja berbicara. Kemudian mengulas senyum. Dengan tenang ia beujar. “Gaza memanglah tanah kering yang tak punya kekayaan apa-apa. Meski begitu, ini adalah tanah kita. Kita tak boleh meninggalkannya sedetikpun dan membiarkan mereka mendudukinya. Kekuatan kita akan tetap di sini. Sementara di Tepi Barat biarlah mujahid di sana mengatur strategi.”
Wajah itu tertunduk. Tak lama, pertemuan sembilan orang itu  berakhir. Mereka meninggalkan ruang rahasia tempat mereka biasa mengatur strategi. Siasat perang selanjutnya telah diatur.
Sekarang tugasku di sini. Aku akan berhadapan dalam sepenggal cerita yang bertaruh nyawa. Atas perintah Rabb-ku, kali ini aku menjelajahi tanah Al-Quds.
-Nur Putih-
Mereka yang mengajarkan kami perang. Semenjak mereka merenggut abi, umi dan Afuf, aku juga tak akan berhenti memerangi kalian. Tidakkah pernah kalian rasa, jika dengan tiba-tiba kalian kehilangan orang yang kalian cinta wahai yahudi terkutuk? Apa nurani kalian demikian tertutupnya sampai-sampai kalian hanya memikirkan kepentingan kekuasaan kalian saja. Takkah terpikir, Tuhan menghadirkan tanah ini bukan untuk kalian semuanya. Tuhan juga memberikannya untuk kami. Takkah terpikir yahudi? Takkah?
Ia sesegukan mengucapkan kata-kata itu. Hanya sebentar. Kemudian ia menulis beberapa menit. Kulihat ia meneteskan air mata. Degup jantungnya berdetak cepat. Perlahan tetes peluh muncul dipelipis dahinya. Ia menghembuskan nafas dan menyandarkan tubuh.
Walau ruangan itu tidak besar tapi isinya padat. Di sana terdapat banyak kitab-kitab. Di dinding ditempel peta Jalur Gaza dan Tepi Barat. Beberapa senjata dan peralatan medis tergeletak begitu saja. Aku pastikan ruangan ini merangkap sebagai ruang pribadi sang Amir.
-Nur Putih-
Mereka kembali melakukan misi. Menyusuri setapak jalan yang merona hitam di gelap dini hari. Langkah-langkah itu berderap melintasi semak belukar. Tembok-tembok yang dibangun yahudi sepanjang daratan agar menyulitkan. Namun mereka selalu punya cara. Posko-posko yahudi yang berada disepanjang jalur gaza harus dihancurkan. Mereka akan terus membunuh warga-warga Gaza yang lewat.
AK-47, roket anti tank RPG, ranjau, dan beberapa jenis roket lokal menunggu untuk dimainkan. Bersiap melawan tank Merkava, pesawat tempur canggih F-16, heli tempur Apache, serta ribuan bom canggih buatan Amerika.
Meski dengan senjata itu cukup menyulitkan kalian melawan Israel, tapi kekuatan Rabb-ku akan selalu mengiringi kalian. Aku siaga manusia putih. Aku siap kapanpun membawa kalian. Dengan senang hati. Akan kuhantar lansung menuju firdaus-Nya atas izin Tuhan-ku.
-Nur Putih-
Aku kembali. Di ruangan sempit dan kecil milik Amir. Tempat ia menghabiskan malam-malamnya dalam sujud panjang. Diiringi luruhan air mata yang membasahi sajadah.
Lengang. Mereka masih dalam perang yang menitikkan darah. Kulihat kertas yang pernah ia tulis. Aku menyentuhnya.
Menuju Muharam baru. Tahun harapan.
Jika di tanah ini air tak lagi bisa menyelamatkan segalanya, biarlah. Jika di tanah ini angin juga tak lagi datang membawa kabar pertolongan, juga biarlah. Bahkan sampai tanah ini juga tak mengizinkan lagi untuk hidup di sini, tetap biarkanlah. Bukankah semuanya masih bisa terus dilanjutkan? Meski mereka tak lagi sahabat kita, meski mereka mengabaikan kita, meski mereka menzalimi kita, dan meski mereka menistakan kita.
Kita tak perlu khawatir apalagi takut. Sebab bukankah di sini kita masih berdiri membentuk lingkaran. Selama rantainya masih erat, semuanya akan baik-baik saja. Di sini masihlah ada pemuda-pemudan-Nya yang teguh memegang janji. Pemuda-pemuda yang tak akan mundur ketika tanah-Nya digumuli kenistaan. Pemuda yang tak akan berdiam diri jika saudaranya dibinasakan.
Namun jika akhirnya tetap ada yang mengkhianati kita, kita juga tak perlu takut. Sebab kita akan menunjukkan betapa dahsyat kekuatan kita. Semuanya selama kita tetap berpegang erat dalam satu jalan. Satu jalan menuju kemenangan Palestina.
Sebuah pesan. Pesan kematian untuk menemui Rabb-ku. Tanah Al-Quds takkan pernah berhenti mengurai cerita merah. Semoga jundi-jundi kecil Allah membacanya dan meneruskan perjuangan sang Amir.
-Nur Putih-
Mereka masih belum kembali. Aku bersiap meninggalkan tempat ini. Menemui Rabb-ku. Aku belum ditugaskan untuk membawa mereka.
Pintu berderit. Nafasku tertahan. Hanya Amir yang akan memasuki ruangan ini sendirian. Dan dia bukan Amir. Seseorang yang mengusulkan agar semua kekuatan dipindah ke Tepi Barat. Dengan senyum licik mengeluarkan barang digenggamannya. Peledak waktu kiriman Amerika. Ia menyelipkan diantara kitab-kitab. Tak sampai satu menit ia keluar. Semuanya telah ia pastikan dengan baik. Ia menjamin satu jam lagi mereka akan kembali. Setelah itu….
Pintu kembali tertutup. Kertas yang ditulis Amir tertiup dan tersungkur di atas tanah. ***
         
Catatan :
1 Daging panggang flatbreads  = Roti berbentuk pipih yang dibakar atau digoreng dengan isi dalam daging panggang. Biasa juga disebut pizza.
2 Manakeesh = Pizza tapi diatasnya ditambahkan minyak zaitun, keju yang diparut, oregano, bawang, rempah-rempah dan saus panas.
3 Oregano = Sejenis sayur atau dedaunan. Di Indonesia seperti selada atau daun kemangi.
4 Chai = Teh bangsa timur tengah. Memiliki rasa dan penyajian yang khas. Disuguhkan dalam gelas kecil yang berdiameter tiga sentimeter.

*Juara 2 dalam Lomba Cerpen Islami Muharam Fair 1432 H yang diselenggarakan FKII Asy-Syams UIN SUSKA RIAU. 4 Desember 2011.


Gang Kamboja
§    Ilham Fauzi

Gang kamboja tiga tahun lalu.
Dengung itu bergema begitu kuat. Petugas kehutanan terfokus pada gergaji raksasa yang gaungnya memekakkan telinga. Pohon-pohon sudah banyak yang tumbang, perlahan mentari mulai membiaskan pendar-pendar cahayanya, menerangi sedikit demi sedikit hutan yang sebelumnya berselimut hijaunya daun. Ketika satu pohon untuk kesekian kalinya kembali sujud menjamah bumi, terdengar teriakan keras. Seorang petugas tertimpa pohon, lalu kerasnya gaduh bercampur panik membahana.
***
-Fatih-
          Ini pertama aku memasuki SMA 8 Pekanbaru yang paling bergengsi di kota ini sebagai salah satu siswanya. Hari pertama masa orientasi mengasyikkan. Banyak teman-teman baru disini, sedangkan lama ketika SMP hanya beberapa saja yang terlihat, itupun tidak terlalu akrab. Bahagia itu tak tahu lagi harus diungkapkan karena akhirnya predikat sebagai siswa putih biru berakhir sudah. Sekarang aku kembali memasuki dunia baru, menjalani masa putih abu-abu yang disebut masa-masa paling indah. Baru kali ini aku merasakan ketenangan saat tidak ada yang mengusik tentang kediamanku di gang kamboja. Ah gang kambojaku.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gang yang menuju rumahku ini. Hanya perlu jarak seratus meter untuk sampai ke rumahku dari mulut gang kamboja, namun hanya ada satu jalan. Ujung jalan gang kamboja ini selanjutnya masih hutan. Selain itu hanya ada dua rumah di gang ini, rumahku dan rumah Fitri, tetanggaku. Masalahnya bermulai ketika kejadian tragis tiga tahun lalu. Teman-teman SMP ku mulai menamakan gang kamboja sebagai sarang hantu atau dengan kata yang lebih kejam, “Bukan ke rumah Fatih kalau tidak bertemu hantu dulu.” Mulai sekarang, semuanya akan berubah, tak ada lagi yang meledekku tentang gang kamboja.
Papa bekerja di salah satu perusahaan minyak di kota bertuah ini. Sayangnya papa tidak memilih tempat tinggal kami di pusat kota, tapi di  Rumbai, tujuh kilometer jaraknya dari pusat kota Pekanbaru. Tempat ini masih banyak hutannya. Memang penebangan tiga tahun lalu rencananya untuk pembangunan perumahan, tapi nyatanya sampai sekarang masih berbentuk hamparan tanah lapang saja yang kini sering dijadikan anak-anak tempat bermain bola setiap sore. Aku tak mau ambil pusing dengan pembangunan ini, mau dilanjutkan atau tidak, ya terserah. Yang terpenting setelah SMA ini aku bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri favoritku. Itu saja.
-Fanny-
Menyebalkan. Aku bertemu dengan Cica yang benar-benar membuatku naik darah. Baru hari pertama sekelas sama dia. Aku tak membayangkan bagaimana hari-hari selanjutnya. Tak ada yang salah sebenarnya kalau saja kami tidak bertemu dalam seleksi debat semester lalu. Ia kalah dan menabur dendam kepadaku
“O ya, lomba debat tingkat provinsi kemarin kamu kalah ya? Kamu yang kemarin juara umum kedua setelah aku kan? Kamu yang tinggal di gang kamboja itu? yang terkenal dengan hantunya? Atau jangan-jangan kamu …”
“Plak!” Bunyi itu mengakhiri ocehannya yang memang harus segera dihentikan. Ia meraba pipinya, kilat matanya menatap kearahku. Tajam. Seakan tabuh perang itu mulai berkobar di hari pertama kami memasuki bangku kelas dua SMP. Ia pergi dan ini sepertinya belum selesai.
Kalau saja ia tak meremehkan aku, kalau saja ia tak merendahkan aku, dan kalau saja ia tak menyinggung tentang gang kamboja, tentu aku tidak akan marah seperti ini. Dan gang kamboja… Ini memang gara-gara gang kamboja. Dari awal dinamakan gang kamboja aku memang tidak setuju, tapi apa mau dikata. Sekalipun aku mengumbar-umbar rasa tidak suka atas penamaannya, tetap saja semuanya tak akan berubah. Kata Papa, semua memang sudah ketentuan dari pihak RT, suka tidak suka harus diterima. Meski dalam hati aku tetap tidak rela, seperti tidak ada nama yang lain saja. Gang mawar kek, gang melati, atau gang anggrek. Lebih keren dan tidak menakutkan. Masa bunga yang tumbuh di kuburan dijadikan nama gang. Sedang kata Bang Fatih “Sabar adek manis, hantunya pasti takut kok sama orang manis kayak kamu.”
-Fatih-
Bertemu dan malangnya sekelas lagi dengan Sarah musuh lama sejak SMP. Aku tak habis pikir kenapa terus sekelas sama nona satu ini. Yang aku takuti bukan karena harus bersaing lagi dengan Sarah yang memang rival terberatku, tapi.. Ah!
“Gimana kabar gang kamboja kita Tih, aman kan?”
Sepatah kata itu cukup membuatku tak berkutik, hanya diam pilihan terbaik untuk mengatasi mulutnya yang usil itu.
-Fanny-
Sebenarnya ribet juga menerima tantangan si Cica, apalagi kalau mama tahu. Tapi bagaimana lagi, ini tak bisa ditolerir. Sombongnya itu seperti tidak mau hilang. Walau sudah pernah ditampar, tapi sepertinya tidak kapok juga. Mungkin ia butuh tamparan kedua.
          “Kalau aku yang terpilih sebagai karya terbaik, kamu ngasih aku 100 ribu, sedangkan kalau aku kalah, kamu dapat 200 ribu. Gimana, sanggup? “
Gimana, Sanggup? Sungguh kata-kata yang meremehkan. Kalau hal terburuk sampai terjadi, pilihan terbaik bicara empat mata dengan papa dan melobi bang Fatih agar meyakinkan Papa. Seratus ribu lumayan juga, uang jajanku seminggu.  Lagian Bu Tutik ada-ada saja, disuruh membuat tulisan dalam bentuk apapun tentang sesuatu yang sangat kita sayangi. Tulisan terbagus akan diikutkan dalam seleksi awal lomba FLS2N, tulisan ini akan di seleksi mulai dari tingkat sekolah, lalu kota, provinsi dan berakhir di tingkat nasional. Sepertinya boleh juga, tapi apa ya? Ah, pusing.
-Fatih-
"Eh eh, tadi malam waktu aku melewati gang kamboja tiba-tiba saja bulu kudukku merinding. Untung aku hafal surat Yasin, jadinya ya…"
Lunak terdengar suara Sarah dari depan kelas tapi jelas terdengar ketelingaku. Disampingnya Alya, Itit, dan Wela konsen mendengar. Kelas sepi, hanya beberapa siswa saja yang berada di kelas karena sedang jam istirahat. Kelihatannya keempat gadis-gadis itu lebih senang menghabiskan waktu istirahat mereka dengan mengobrol, seolah-olah mengobrol adalah sesuatu yang sangat penting. Aku sendiri duduk di bangku belakang sambil membaca buku biologi yang menutupi seluruh wajahku.
"Apa bedanya jika kamu tidak hafal Sar, pasti kita akan selamat juga." Alya membantah argumen Sarah yang terdengar asal.
"Yah kamu Al, masa tidak tahu kalau gang kamboja itu seram. Kalau sejarah gang kamboja saja kamu tidak tahu, bagaimana dengan sejarah bangsa kita. Bangsa yang besar itu kan bangsa yang…”
"Hey, dengar ya Sarah Romantis! Otak aku hanya menyerap sejarah yang benar-benar valid, tidak seperti kamu!" Alya langsung tidak terima dengan ucapan Sarah. Hening sesaat. Seperti ada yang perang dingin.
"Mm, maaf Al, bukan maksud aku kayak gitu. Aku cuma,"
"Cuma bercanda?" Sarah diam. Terdengar langkah Alya meninggalkan tiga temannya itu.
"Kamu Sar, bercanda itu kira-kira. Jadinya Alya ngambek tuh." Itit menimpali.
"Biarin, aku sudah minta maaf kok." elak Sarah.
"Iya, tapi coba mengerti perasaannya juga dong. Itu kan sudah menyangkut ke hal yang sensitif."
"Sudah ah. Nanti baikan juga."
Itit diam, tak berkomentar lagi.
"Memang malam tadi kalian kemana malam-malam lewat gang kamboja?" Wela buka suara.
Sarah diam sesaat, lalu kembali berujar. Sepertinya ia tak menyadari keberadaanku.
"Sst, jangan sampai si Fatih tau ya. Tadi malam aku dan Alya jemput Cica ke sanggar, dia latihan ekstra karena besok ada tampil di acara besar gitu. Memang tak ada pilihan lain selain harus melewati gang kamboja yang sepi itu."
"Sebenarnya ada apa sih Sar dengan gang kamboja? Apa ada hantu, kuntilanak, atau wewe gombel mungkin?" Ujar Wela yang disambut dengan gidikan ngeri Itit.
"Eh Wel, kamu itu jangan asal ngomong. Yang ada tuh pocong," Sarah bukannya meluruskan argumen Wela.
"Haa, pocong?" Sahut Itit dan Wela serempak. "Kok bisa, gimana sejarahnya?"
"Nggak tauu."
Aku bangkit dan berjalan keluar. Tak tahan lagi mendengar celoteh-celoteh itu. Tiga pasang mata mengekor melihatku lewat dihadapan mereka.
-Fanny-
Aku cinta gang kamboja
Gang kamboja, disanalah aku dibesarkan oleh mama. Walaupun aku selalu merindukan kampungku nan indah dengan dengan hamparan sawah yang bertingkat-tingkat dan dipadu dengan batu-batu besar yang membuatku betah bermain disana tapi gang kamboja adalah cinta keduaku. Biarpun sekelilingnya banyak hutan, aku akan selalu cinta. Gang kamboja bukanlah tempat yang buruk seperti yang dipikiran orang-orang selama ini, sekali lagi bukanlah sesuatu yang buruk. Karena dengan dibesarkan dekat hutan aku lebih cinta dan peduli pada lingkungan. Digang kambojalah aku mendapatkan keteduhan, karena ada hutan yang selalu meneduhiku, gang kambojalah yang memberiku kesejukan dengan lambaian pohon yang selalu meniupkan angin kesegaran. Gang kamboja juga memberikan ketenangan. Sebab tak ada bising di sini. Tidak hanya itu, gang kambojalah yang menyelamatkanku dari banjir, meyelematkanku dari kegersangan. Gang kamboja adalah sebagian dari jiwaku. Sungguh, jika tak ada gang kamboja hidupku pasti merana.
Mata Bu Titik berbinar-binar ketika sepuluh menit kemudian suaraku mulai berhenti. Sepertinya ada feeling nih. Ya biarpun dalam hati aku tidak mengaminkan apa yang aku tulis. Tapi mudah-mudahan saja.
-Fatih-
          Sore teduh dengan sinarnya yang tak terlalu garang. Gumpalan awan berarak pelan. Aku sedang duduk di beranda rumah sambil memperhatikan anak-anak yang sedang bermain bola. Sesekali terdengar teriakan heboh mereka saat secuil bola itu gol. Sepertinya anak-anak itu tidak ambil pusing dengan mitos-mitos yang beredar tentang gang kamboja seperti yang menjadi perbincangan hangat Sarah cs.
Suara heboh Fanny dan teman-temannya dari dalam rumah membuatku mau tak mau menyimak pembicaraan mereka.
"Sepertinya Cica tidak terima dengan kekalahannya tadi?" Adikku itu berujar sambil menghempas nafas resah.
“Biarin saja Fan, kan dia yang memulai. Kita do’ain semoga untuk seleksi selanjutnya kamu lolos lagi. Amiin.”
“Iya, makasih.”
“Mm, Fan, apa yang sering disebut-sebut Cica itu memang benar ya?" seorang teman Fanny terdengar bicara dengan nada hati-hati.
“Huft, kalian kok percaya sama dia. Aku saja selama tinggal disini tidak melihat hal-hal yang aneh. Positif thingking saja.” aku tersenyum mendengarnya.
“Ooo.” kompak mereka ber o ria.
"Tapi kata Mamaku arwah orang yang ketimpa pohon itu masih suka kelayapan deh Fan." satu suara menyela.
"Aduh Moni, udah deh, jangan ngomongin hantu lagi. Nanti kalau kita diculik, populasi orang manis kayak aku itu semakin menipis loh."
“Haaa?” kembali suara itu terdengar kompak. Aku terkikik.
“Kita tidak boleh takut dengan apapun kata orang tentang gang kamboja, yang harus kita lakukan banyak-banyak bikin pahala.” lanjut adikku itu bijaksana.
-Fatih-
Aku baru saja selesai mengerjakan tugas fisika di ruang tamu. Sudah pukul sepuluh. Papa dan Mama sepertinya sudah tidur, tidak terdengar lagi suara tv dari kamar mereka. Fanny masih main di rumah Fitri. Baru saja aku akan beranjak kedalam kamar, terdengar bunyi sepeda motor berhenti.
"Sarah?" Ujarku kaget.
Ia nyengir. "Maaf ya kejadian siang tadi." lanjutnya.
"Iya, iya. Tapi ada apa datang malam-malam?"
"Aku baru pulang dari gor lihat pertunjukan Cica, baru tahu kalau besok ada pr fisika. Tapi bukuku sama Alya, pinjam buku kamu ya? Sebentar ini aku sudah kerumah Alya, tapi tidak ada respon, ya mungkin karena kejadian tadi siang kali ya.” Sarah langsung panjang lebar menyampaikan misinya.
"Nih!" kuangsurkan buku yang diinginkannya itu.
"Oke, terima kasih Fatih yang baik. Sampai jumpa besok. Daah."
“Tidak perlu diantar nih?”
“Oh tidak usah, terima kasih.” katanya sambil menggas motor maticnya itu.
Aku menutup pintu, tidak dikunci. Sebentar lagi Fanny pasti pulang. Tak lama aku larut dalam novel Percy Jakson karangan Rick Riordan. Pintu kamarku terkuak, Fanny muncul dengan nafas yang ngos-ngosan. Aku langsung mengalih perhatian.
"Kenapa?"
"Gila, ternyata gang ini benar-benar ada hantunya Bang. Sebentar ini Fanny dengar ada suara rintihan minta tolong. Pasti..." Fanny tidak melanjutkan.
Aku geleng-geleng kepala. Kirain keimanannya sudah bisa diacungin jempol, eh ternyata  sama saja dengan Sarah.
"Ya tidak mungkinlah, kan sudah ada dalam al-Quran surat..."
"Stop, stop. Plis deh Bang Fatih, jangan ceramah. Sekarang Fanny tidur disini ya. Ngeri nih. Ia kembali menarik nafas"
"Eh, tidak boleh tidur sama kakak laki-laki. Sudah, harus berani! Kalau ada apa-apa teriak saja. Abang segera ke sana. Okey?"
Adik bontotku itu merengut.
-Fatih-
Pagi kembali menebar sayap terangnya. Kicauan merdu burung balam peliharaan papa bersimfoni merdu mengiringi gerakanku membersihkan debu-debu di sepeda motor. Aku tertuju ke arah mulut gang kamboja. Ada ribut-ribut. Tampak Pak RT, Papa, Ayah Fitri, juga Fanny yang ikutan nimbrung serta beberapa warga yang kebetulan lewat berkumpul dimulut gang. Aku segera mendekat.
"Pasti ini di bawa banjir Pak Rt." terdengar suara bapak yang bertubuh jangkung.
"Ah, Pak Edi ini ada-ada saja. Tidak mungkinlah, semalam saja tidak ada hujan kok." Sahut Pak RT.
Aku terbengong-bengong mendengar ucapan Pak Edy itu. Kok ngomong banjir sih? Tiba-tiba pandangan Papa tertuju padaku.
"Tih! Papa tahu kamu tidak suka dengan nama gang kamboja ini. Tapi jangan gangnya dicopot segala. Sekarang kamu buang dimana plang gang kamboja ini?" Papa mengintrogasiku.
"Haa?" Aku tercengang dengan ucapan Papa itu. Siapa juga yang mencopot, lagian kalau aku copot apa untungnya?
"Papa sembarang tuduh nih, buat apa juga Fatih copot Pa?" Aku protes.
“Ya siapa tau.”
"Iya, papa ini sembarang tuduh saja. Bukan Bang Fatih pa, tapi hantu orang yang waktu penebangan pohon ini dulu, semalam saja Fanny ada dengar suaranya kok" Fanny sepertinya membelaku tapi jawabannya itu membuatku tambah gemas saja.
"Saya tadi malam juga dengar lho Pak RT," Bu Muti yang rumahnya tidak jauh dari mulut gang kamboja ikut menimpali.
Papa, Pak Rt, Ayah Fitri dan beberapa warga yang ada disana saling berpandangan. Aku tak menanggapi, percuma memprotes. Kuperhatikan lubang tempat ditancapkannya nama gang kamboja. Tidak ada. Tidak ada lagi plang gang kamboja tertancap disana. Gang kambojaku benar-benar hilang.
"Jangan-jangan diambil maling Pak RT!" Kata seorang Bapak lagi.
Pak RT tak menanggapi lagi.
Aku kembali memperhatikan lubang tempat plang gang kamboja ditancap. Benar-benar tak ada petunjuk. Aku beranjak meninggalkan kerumunan itu dan berharap bukan hantu gang kamboja yang melakukan ini. Ah, ngelantur.
-Fanny-
Gang kamboja hilang? Apa peduliku. A ku benci gang kamboja, benciiiii!    Maunya aku pindah saja dari gang ini. Ini lagi-lagi karena Cica.
“O ya, tidak salah lagi kan kalau gang kamboja tempat kamu tinggal benar ada hantunya. Iya kan?”
“Maksud kamu?”
“Pura-pura tidak tahu lagi.” lalu dia kemudian berbalik. Ujung-ujungnya dia malah mengatakan sesuatu yang membuat hampir seisi kelas menatapku dengan tatapan yang tak biasa. Aku berusaha untuk tak menanggapi kelakuan Cica yang kali ini benar-benar buat aku sakit hati.
-Fatih-
Terpaksa pinjam buku cetak fisika ke kelas sebelah, lagian itu anak kemana ya. Keempat konconya bilang tidak tahu. Tidak seperti biasanya Sarah seperti ini. Ia begitu berambisius, tak mungkin melewatkan begitu saja fisika Bu Ester. Jangan-jangan... Ini tak mungkin!
-Fatih-
"Maaf ya Tih, aku tidak tahu lagi gimana nasib buku fisika kamu. Seluruh tubuhku sudah remuk semua," ujar Sarah sambil merintih kesakitan. Kayaknya ketinggalan disana.
Aku terkesima. Dalam hati membatin kalau iya kenapa tidak ketemu ya bukunya tadi pagi?
“Iya, iya.” ujarku sekenanya. Terpaksa harus merelakan buku itu sambil berharap ada yang menemukannya dan mengantarkan ke rumah.
Ketiga konconya Sarah menunjukkan sikap prihatin. Berbagai pertanyaan melintas di benakku, dan dugaanku pasti hilangnya gang kamboja ini pasti Sarah tahu. Tapi kalau melihat faktanya begini, tidak mungkin juga gang kamboja hilang tak berbekas. "Memang kronologisnya bagaimana sih Sar?"  Alya buka suara, sepertinya ia sudah melupakan kejadian kemarin.
Sarah diam sejenak, kembali mengingat apa yang terjadi tadi malam. Selanjutnya ia mulai buka suara.
"Waktu aku sudah di mulut gang kamboja, ada kendaraan lewat. Aku berhenti dulu nungguin kendaraan itu lewat. Saat nurunin kaki kiri, keseimbanganku hilang, tanahnya tidak rata. Aku jatuh, dan yang parahnya aku malah mengimpit plang gang kamboja. Ditambah lagi motor ngimpit. Aku sudah teriak-teriak, tapi tidak ada yang datan. Setelah bisa bangkit, aku langsung menggas motor pulang. Soalnya…” ia tak menyelesaikan kata-katanya.
Kulirik Alya cs, mereka sedang berat menahan tawa.
"Tapi ini tidak ada hubungannya sama pocong yang kamu bilang itu kan Sar?" terdengar Itit sedikit berbisik.
Sarah mendelik ke arah Itit sambil sekilas melirik kearahku.
"Sst," Ia tak meneruskan.

-Fatih-
Gang kamboja kembali tegak dengan gagah. Plang kamboja yang sempat hilang memang tak ditemukan lagi. Tak ada kutemukan sebab yang paling mungkin kenapa gang kamboja bisa hilang. Bisa saja ada orang iseng yang mencabut gang kamboja. Tapi masa iya, gang kamboja kan sudah ditancap begitu kuat.
Sudah dua hari ini tanah tempat anak-anak biasanya bermain bola lengang. Tidak ada lagi yang bermain disana. Begitu juga dengan temannya Fanny, mereka juga tak lagi datang ke rumah. Ah, aku menatap langit. Gundah.
-Fanny-
Tak boleh siapapun tahu insiden yang dialami Sarah malam itu. Aku melihat motor yang menyala agak lama di mulut gang kamboja, tapi posisinya seperti rebah. Tapi tak lama kemudian motor itu segera pergi. Aku mendekat dan melihat buku juga plang gang kamboja yang tergeletak begitu saja. Sekilas seperti buku pelajaran Bang Fatih. Sejenak kupandangi antara gang kamboja dan buku Bang Fatih. Aku harus melakukannya. Maaf.

*Nominator Lomba Menulis Bersama Uda Agus Mei 2011