Senin, 30 Januari 2012


Cerita Dari Al-Quds
                                                                          : Karya Ilham Fauzi

Negeri Para Nabi. Bumi Al-Aqsa. 1420 H.
Dzulhijjah menuju penghujung. Menutup selaksa episode nan lelah menggores. Berselang hari, Muharam kembali datang. Melantunkan gema lembut. Menggantikan sisiran kisah-kisah di bulan-bulan sebelumnya. Saat pedih dan bahagia memberi warna. Memberi harap dan tekad baru agar dihadirkan kisah dari lantunan do’a. Semoga percik-percik kebaikan tak pernah surut menghampiri.
Namun bagaimana dengan sebuah negeri yang berada di pesisir laut tengah benua Afrika. Diserpih kedinginan sejak Zulkaidah memasuki. Tak ada aroma gurun mempertajam dahaga. Pun tarian pasir mempertontokan badainya berputar-putar mengerikan. Di penghujung tahun, hawa panas tak begitu hebat menjalar. Takluk karena  kedinginan begitu berkuasa merasuk ke sumsum tulang. Namun tetap saja daun-daun kurma dan zaitun tak segar menghijau. Mereka tertunduk tak semangat. Bukan hanya karena dingin bercokol di titik 10 derajat celcius. Namun karena sebuah luka. Luka yang tak berhenti mencecerkan darah. Luka di tanah Al-Quds.
 -Amir-
Aku memimpikan itu. Ketika kami melewati matahari pertama di bulan Muharam tanpa mendengar  bunyi-bunyi peluru yang hilir mudik mencari alamat. Semuanya mesti terus terjadi. Peluru itu akan terus  berdansa memuntahkan timah panas. Semua tak akan terhenti. Hingga kini aku sepuluh tahun, tak ada sedikit jeda untuk tanah ini didiamkan dari desing-desing yang menyesakkan dada.
Semua tak kami kehendaki. Walau begitu, di penghujung Hijiriah ini aku, abi, umi, dan Afuf, adikku, akan mengadakan pesta kecil-kecilan seusai subuh. Di sini tak akan ada peringatan besar-besaran yang menandakan Zulhijjah telah berlalu. Sebab penjajah tanah ini tak akan membiarkan semuanya berlalu dengan aman. Mereka akan menambah luka lagi.
Abi membangunkanku dan Afuf seperti biasa. Kami sholat subuh berjamaah. Abi akan larut sebentar dalam zikir al-matsurat pagi. Sementara aku dan Afuf bergeming nakal. Selesai itu, abi membukakan pintu dan kami mulai “berpesta”. Menunggu fajar Muharam menyemburat.
“Tahun baru datang lagi Abiiii!” aku meneriakkan itu yang juga disusul oleh Afuf dengan terpatah-patah. Ia baru berumur dua tahun. Umi akan sibuk menyajikan makanan yang lain dari biasa.  Tahun lalu umi membuat daging panggang flatbreads1. Untuk sekarang aku meminta manakeesh.2.   
Kami memasaknya di luar dan mengangkut barang-barang yang diperlukan. Abi menyalakan api unggun. Kecil saja. Suasana gelap adalah target yang mengempukkan bagi tentara yahudi melenyapkan kami. Serangan-serangan biadab itu biasanya dilancarkan ketika gelap masih mengepul. Yang paling khawatir adalah abi. Hanya untuk satu kali ini saja abi mengizinkan.
“Aku bukan anak kecil lagi Abi. Aku sudah menjadi abang sekarang. Aku tak takut  berhadapan dengan zionis-zionis itu.” sebuah protesku pada abi yang pernah aku lontarkan. Abi hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Tak mengatakan sepatah katapun.
Dingin masih berkuasa dengan tahtanya. Umi menggelar tikar pandan di bawah pohon kurma yang daunnya sangat lebat. Abi menenteng kompor mini. Dibantu Afuf dibelakangnya. Mengangkut bahan-bahan untuk manakeesh. Seperti minyak zaitun, oregano3, bawang, rempah-rempah dan saus panas. Selain itu juga diselingi dengan yogurt sederhana buatan umi dan chai 4 hangat. Aku menceritakan segala keinginan yang harus terwujud tahun ini. Aku harus hafal lima juz lagi. Mempelajari AK-47. Afuf juga bercerita tentang keinginannya. Kami hanyut dalam tawa hingga nanti pagi benar-benar sempurna dalam kilauan terang.
“Bang Amir! Gelas untuk chai masih didalam. Tolong ambilkan.” Afuf menyela dengan suara cadelnya.
“Baiklah.” ujarku sambil melangkah ke dapur yang agak jauh ke belakang.
Aku kembali dari dapur dengan membawa teko berisi chai hangat dengan hati-hati. Keseimbanganku menggoyah ketika dentuman keras menggetarkan tanah. Aku terpaku namun tak perlu lagi mengeluarkan tanya. Roket-roket keji itu mengunjungi rumahku. Tepatnya menghantam pekarangan rumah dimana abi, umi, dan Afuf tengah berada. Dengan hentakan kaki yang bergerak kilat, aku merangsek ke depan.
Abi, umi dan Afuf terpental dalam leleran darah yang membanjir. Sedangkan deru-deru pesawat yahudi mulai menjauh. Aku mulai terisak-isak. Terduduk sambil memeluk lutut. Aku tak sanggup mendekati mereka. Sungguh tak sanggup. Aku hanya menatapi minyak zaitun yang dibawa Afuf tertumpah. Daging-daging yang akan dipanggang umi terpental. Kompor mini abi tersungkur, sujud di pasir. Aku mulai menangis. Semakin mengeras. Semuanya menyisakan pedih yang menghujam.
***
Gaza dalam merah. 1432 H.
-Nur Putih-
Atas perintah Tuhanku, aku melesat menuju bumi. Seperti biasa, mencatat apa yang diperbuat manusia di tanah milik pencipta mereka. Namun tak hanya itu, aku datang untuk menjemput kalian. Mengambil ruh dalam dua keadaan. Keadaan sebaik-baik rupa. Ditangisi banyak orang. Disholati dalam banyak shaf. Bahkan terus dikenang. Atau bisa jadi ketika kalian dalam keadaan seburuk-buruk rupa. Menggumpal dalam beku darah. Mengonggok dalam tumpukan daging yang mengaroma busuk. Atau dalam keadaan yang sangat menyedihkan.  Hina dalam pandangan manusia bahkan mungkin juga hina dalam pandangan Rabb-ku.
Gaza meremang pekat. Aku tiba di tanah kematian ini. Tanah seluas 360 km2. Kembali aku bertasbih memuja Rabb-ku. Tempat ini benar-benar gelap bagi kalian ukuran manusia. Ritme kehidupannya tak terlihat menghembuskan nafas. Sama halnya ketika aku melintas di Tepi Barat. Bahkan Baitul Maqdis yang mampu menampung hingga dua ratusribu umat, sunyi tak bernyawa. Mendiam. Menyatu dalam bekuan dingin.
-Nur Putih-
Mereka memanggilnya dengan Amir. Aku mencatat ia yang selalu terjaga dalam sujud panjang disepertiga malam terakhir. Melantunkan hafalannya yang sempurna 30 juz. Wajahnya kilat bercahaya. Tak salah Tuhanku mengatakan bahwa manusia adalah sebaik-baik mahkluk. Tapi hanya manusia-manusia pilihan-Nya.
“Amir, bagaimana kalau kita melakukan pengungsian dulu ke Tepi Barat. Di sana kita bisa menyatukan semua kekuatan yang berada di Betlehem, Hebron, Ramallah juga di Jerusalem. Setelah itu kita bisa kembali ke sini merebut Gaza. Bukankah Allah akan terus bersama kita.”
Wajah yang masih muda itu menatap ke wajah yang baru saja berbicara. Kemudian mengulas senyum. Dengan tenang ia beujar. “Gaza memanglah tanah kering yang tak punya kekayaan apa-apa. Meski begitu, ini adalah tanah kita. Kita tak boleh meninggalkannya sedetikpun dan membiarkan mereka mendudukinya. Kekuatan kita akan tetap di sini. Sementara di Tepi Barat biarlah mujahid di sana mengatur strategi.”
Wajah itu tertunduk. Tak lama, pertemuan sembilan orang itu  berakhir. Mereka meninggalkan ruang rahasia tempat mereka biasa mengatur strategi. Siasat perang selanjutnya telah diatur.
Sekarang tugasku di sini. Aku akan berhadapan dalam sepenggal cerita yang bertaruh nyawa. Atas perintah Rabb-ku, kali ini aku menjelajahi tanah Al-Quds.
-Nur Putih-
Mereka yang mengajarkan kami perang. Semenjak mereka merenggut abi, umi dan Afuf, aku juga tak akan berhenti memerangi kalian. Tidakkah pernah kalian rasa, jika dengan tiba-tiba kalian kehilangan orang yang kalian cinta wahai yahudi terkutuk? Apa nurani kalian demikian tertutupnya sampai-sampai kalian hanya memikirkan kepentingan kekuasaan kalian saja. Takkah terpikir, Tuhan menghadirkan tanah ini bukan untuk kalian semuanya. Tuhan juga memberikannya untuk kami. Takkah terpikir yahudi? Takkah?
Ia sesegukan mengucapkan kata-kata itu. Hanya sebentar. Kemudian ia menulis beberapa menit. Kulihat ia meneteskan air mata. Degup jantungnya berdetak cepat. Perlahan tetes peluh muncul dipelipis dahinya. Ia menghembuskan nafas dan menyandarkan tubuh.
Walau ruangan itu tidak besar tapi isinya padat. Di sana terdapat banyak kitab-kitab. Di dinding ditempel peta Jalur Gaza dan Tepi Barat. Beberapa senjata dan peralatan medis tergeletak begitu saja. Aku pastikan ruangan ini merangkap sebagai ruang pribadi sang Amir.
-Nur Putih-
Mereka kembali melakukan misi. Menyusuri setapak jalan yang merona hitam di gelap dini hari. Langkah-langkah itu berderap melintasi semak belukar. Tembok-tembok yang dibangun yahudi sepanjang daratan agar menyulitkan. Namun mereka selalu punya cara. Posko-posko yahudi yang berada disepanjang jalur gaza harus dihancurkan. Mereka akan terus membunuh warga-warga Gaza yang lewat.
AK-47, roket anti tank RPG, ranjau, dan beberapa jenis roket lokal menunggu untuk dimainkan. Bersiap melawan tank Merkava, pesawat tempur canggih F-16, heli tempur Apache, serta ribuan bom canggih buatan Amerika.
Meski dengan senjata itu cukup menyulitkan kalian melawan Israel, tapi kekuatan Rabb-ku akan selalu mengiringi kalian. Aku siaga manusia putih. Aku siap kapanpun membawa kalian. Dengan senang hati. Akan kuhantar lansung menuju firdaus-Nya atas izin Tuhan-ku.
-Nur Putih-
Aku kembali. Di ruangan sempit dan kecil milik Amir. Tempat ia menghabiskan malam-malamnya dalam sujud panjang. Diiringi luruhan air mata yang membasahi sajadah.
Lengang. Mereka masih dalam perang yang menitikkan darah. Kulihat kertas yang pernah ia tulis. Aku menyentuhnya.
Menuju Muharam baru. Tahun harapan.
Jika di tanah ini air tak lagi bisa menyelamatkan segalanya, biarlah. Jika di tanah ini angin juga tak lagi datang membawa kabar pertolongan, juga biarlah. Bahkan sampai tanah ini juga tak mengizinkan lagi untuk hidup di sini, tetap biarkanlah. Bukankah semuanya masih bisa terus dilanjutkan? Meski mereka tak lagi sahabat kita, meski mereka mengabaikan kita, meski mereka menzalimi kita, dan meski mereka menistakan kita.
Kita tak perlu khawatir apalagi takut. Sebab bukankah di sini kita masih berdiri membentuk lingkaran. Selama rantainya masih erat, semuanya akan baik-baik saja. Di sini masihlah ada pemuda-pemudan-Nya yang teguh memegang janji. Pemuda-pemuda yang tak akan mundur ketika tanah-Nya digumuli kenistaan. Pemuda yang tak akan berdiam diri jika saudaranya dibinasakan.
Namun jika akhirnya tetap ada yang mengkhianati kita, kita juga tak perlu takut. Sebab kita akan menunjukkan betapa dahsyat kekuatan kita. Semuanya selama kita tetap berpegang erat dalam satu jalan. Satu jalan menuju kemenangan Palestina.
Sebuah pesan. Pesan kematian untuk menemui Rabb-ku. Tanah Al-Quds takkan pernah berhenti mengurai cerita merah. Semoga jundi-jundi kecil Allah membacanya dan meneruskan perjuangan sang Amir.
-Nur Putih-
Mereka masih belum kembali. Aku bersiap meninggalkan tempat ini. Menemui Rabb-ku. Aku belum ditugaskan untuk membawa mereka.
Pintu berderit. Nafasku tertahan. Hanya Amir yang akan memasuki ruangan ini sendirian. Dan dia bukan Amir. Seseorang yang mengusulkan agar semua kekuatan dipindah ke Tepi Barat. Dengan senyum licik mengeluarkan barang digenggamannya. Peledak waktu kiriman Amerika. Ia menyelipkan diantara kitab-kitab. Tak sampai satu menit ia keluar. Semuanya telah ia pastikan dengan baik. Ia menjamin satu jam lagi mereka akan kembali. Setelah itu….
Pintu kembali tertutup. Kertas yang ditulis Amir tertiup dan tersungkur di atas tanah. ***
         
Catatan :
1 Daging panggang flatbreads  = Roti berbentuk pipih yang dibakar atau digoreng dengan isi dalam daging panggang. Biasa juga disebut pizza.
2 Manakeesh = Pizza tapi diatasnya ditambahkan minyak zaitun, keju yang diparut, oregano, bawang, rempah-rempah dan saus panas.
3 Oregano = Sejenis sayur atau dedaunan. Di Indonesia seperti selada atau daun kemangi.
4 Chai = Teh bangsa timur tengah. Memiliki rasa dan penyajian yang khas. Disuguhkan dalam gelas kecil yang berdiameter tiga sentimeter.

*Juara 2 dalam Lomba Cerpen Islami Muharam Fair 1432 H yang diselenggarakan FKII Asy-Syams UIN SUSKA RIAU. 4 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar