Bayi-bayi
Merah
Cerpen by : Ilham Fauzi
Jika
kondisi negeriku tak memprihatinkan begini, tentu aku tak akan menjadi salah satu
tokoh utama. Setiap hari mesti ada janin dibuang atau bayi dibunuh. Setiap jam
mesti ada praktek aborsi. Lalu setiap menit, mesti ada hubungan yang tak
seharusnya dilakukan. Inilah budaya negeriku. Bukankah hal seperti ini biasanya
hanya ada di belahan bumi barat sana?
Dalam
ruang tak bernyawa, aku menggeliat lemah dengan gelimang basah darah merah. Tenang
memusatkan pikiran. Membangkit raga meninggalkan tempat ini. Aku perlu
sekelumit waktu. Menghadirkan semua kekuatan yang perlahan sempurna menuju
kosong. Pada titik kulminasi, tarikan pegas hadir sempurna. Tubuhku mencuat.
Aku datang menjenguk bumi. Mengunjungi kehidupan, menyinggahi peradaban, dan
dengan terseok-seok meninggalkan ruang tanpa manusia.
Aku
mengunjungi orang-orang yang berbalut dekil menawarkan kertas-kertas di lampu
merah, atau yang memasang tampang iba sembari meletakkan sebuah wadah di atas
tangan. Merasa orang yang melahirkanku tak ada di sana, aku menyerusuk ke pasar
yang tak jauh. Aku terseret ke tempat gelap. Di sana kuciumi asap rokok, bau alkohol,
lalu semacam barang yang tak seharusnya dikonsumsi manusia, belakangan aku
mencium … anyir sperma! Terakhir sebelum aku meninggalkan tempat itu, aku
mendengar desah manja seorang wanita dari ruang tertutup. Aku terhenti tapi
kemudian meneruskan langkah. Bukan orang yang perlu aku temukan.
Ah,
andai sang wanita muda tak meninggalkanku sendirian di tong sampah, dan tidak
membiarkan kulitku dilumat serigala, aku tak perlu melihat sebagian kecil dari tingkah-tingkah
kotor manusia ini. Dalam lumur kering merah marun aku kembali berlayangan. Mencari
sang wanita.
Bau amis dan darah hebat
melekat. Aku melihat jubelan daging di atas meja-meja beralaskan mika. Di
sebuah pojok, dengan sudut mata aku melihat daging yang tak seharusnya di sana.
Daging babi. Aku merangsek meninggalkan onggok-onggok daging itu. Menuju tempat
yang lebih kering. Suara bising menggema dimana-mana. Teriakan, juga ocehan
ibu-ibu yang menawar harga atau membicarakan apa saja. Aku kembali melesat.
Detik-detik merangkak
gemulai. Meninggalkan hari yang sisakan selaksa episode. Malam arungi bumi. Aku
kembali ke tempat siang tadi. Lampu merah. Sejenak diam. Ditemani tetes-tetes
embun yang berdatangan menuju pertengahan malam. Mengharap seorang wanita hadir.
Namun tak ada getar batin terasa. Aku lihat gadis muda dengan lelaki paruh baya
bercengkrama mesra. Di titik sempurna malam, ramai semakin menjadi-jadi. Ramai
dengan para pria dan wanita yang menjamah waktu dalam gulatan hitam. Inikah lingkungan
dan kebudayaan manusia itu sebenarnya?
Aku berniat meninggalkan
tempat ini. Bersiap melaju ke tempat yang dihuni orang-orang putih. Namun cahaya
itu kilau sekali. Menembus mata hingga selaput jala berontak perih. Apa waktuku
sudah habis? Cepat sekali. Badanku melemah. Aku tak lagi berlayangan. Tersungkur
mengecup tanah.
Dalam gelap aku menggerakkan
raga. Aku kembali berada di sini. Ruang tak bernyawa. Terdengar suara gaduh
para bayi. Aku melihat mereka. Mereka tertawa. Tak ada tangis seperti bayi-bayi
merah yang lahir ke dunia. Aku melayang ke arah mereka.
“Apa kalian tidak mencari
ibu kalian?” tanyaku.
Jawabanku direspon oleh
seorang bayi yang berkulit gosong.
“Buat apa aku mencari mereka.
Apa kau tak lihat apa yang terjadi padaku?”
Aku memperhatikan para bayi
itu. Tak hanya gosong. Ada bayi yang masih bergelimang air tuban. Berbau busuk
sampah. Lalu ada yang membeku karena dingin. Semuanya masih dibalut dalam bauran
merah pekat darah. Aku di sana sejenak. Memperhatikan mereka yang terus tertawa
dan berkejaran sambil melayang-layang.
Kemarin ketika ruang tak bernyawa
menghantarku menuju bumi aku tak memperhatikan
tempat ini. Ruang yang besar. Aku mendekati cermin raksasa. Kami sejajar. Ia
mengeluarkan gambar-gambar abstrak dengan siluet hitam putih. Tapi tak lama.
Kemudian aku melihat gambar sosok wanita. Dan… aku terkesima.
***
“Aku pergi.” ujarku lama kemudian.
“Kau mau kemana?!” ujar
bayi gosong lagi.
“Mencari ibuku.”
“Dia meninggalkan kau
seperti ini. Berdarah-darah karena dimangsa serigala.”
Aku tak peduli lalu pergi.
Meninggalkan bayi-bayi merah. Wanita itu sekarang sudah jelas. Aku akan
menemuinya. Setelah semua selesai aku akan kembali ke ruang tak bernyawa.
Tempat tak ada yang berbuat dosa. Tak ada yang membunuh. Tak ada yang melakukan
perbuatan bodoh. Tak ada yang menjual diri. Tak ada yang menjadi pembohong. Tak
ada yang mengelabui manusia. Semuanya tak ada.
***
Aku dalam perjalanan menuju
ruang tak bernyawa setelah menghujam lambung seorang wanita dengan sebilah
belati. Di bawah terik aku melayang rendah. Misiku selesai. Aku lega telah membawa
wanita itu ke duniaku. Tapi sayang, tempatnya bukan di ruang tak bernyawa. Perjalanan
dalam gelimang panas ini berakhir. Tidak lagi aku berkubang dalam dingin dan tetes-tetes
keringat yang menguar tawar di sela-sela pori. Tidak lagi aku melihat ulah-ulah
bodoh manusia. Dan cukup kali ini aku berurusan dengan dunia fana manusia.
Walau kusesali, kenapa aku harus jadi korban lingkungan dan budaya yang semakin
melarat. Perzinaan, perkosaan, dan seks bebas. Aku korban dari semuanya. Pelan
tetes air mataku jatuh menyepah bumi.
Aku tiba di ruang tak
bernyawa. Terbelalak kaget melihat bayi-bayi merah yang bertambah banyak. Bergumul
merah darah dan bau asin dalam bentuk mengenaskan.
“Kau korban baru dari
peradaban manusia ya?” tanyaku pada seorang bayi.
Dia mengangguk. “Lingkungan
dan budaya negeri ini semakin gila.” katanya kemudian.
“Apa kabar bayi-bayi kecil?”
Aku menoleh ke pemilik
suara.
“Kita bertemu lagi sayang.”
ujarnya lirih.
“Ibu?” aku tak percaya.
Ia tersenyum misterius dan
mendekat.***
Fragmen cermin raksasa. Epilog.
Aku
perhatikan wanita itu baik-baik. Ia lari di kegelapan. Melihat-lihat ke belakang
seperti orang yang diuntit. Ia berhenti di dekat tong sampah. Mengeluarkan
sebuah bungkusan. Yah, bungkusan bayi. Ia memasukkanku ke sana dan pergi. Belum
jauh ia melangkah, aku melihat sosok
wanita berdiri di hadapannya. Wanita yang raut mukanya tak jauh beda dengan
wanita yang menaruhku di tong sampah.
“Kau
telah membuat papa tiada sayang.” bisiknya pelan. Di tangannya ada sebilah
belati. Aku melihat bayangan malaikat maut membawa roh ibuku. Aku menangis
keras. Pandangan sang wanita beralih ke arah tong sampah. Kemudian dia mendekat.
*
Juara 1 dalam Lomba Cerpen Tema Lingkungan dan Budaya dalam Semarak GAGASAN 18TH.
Diadakan oleh GAGASAN. Koran Kampus UIN SUSKA Riau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar