Selasa, 31 Januari 2012


Bayi-bayi Merah
                                                    Cerpen by : Ilham Fauzi

Jika kondisi negeriku tak memprihatinkan begini, tentu aku tak akan menjadi salah satu tokoh utama. Setiap hari mesti ada janin dibuang atau bayi dibunuh. Setiap jam mesti ada praktek aborsi. Lalu setiap menit, mesti ada hubungan yang tak seharusnya dilakukan. Inilah budaya negeriku. Bukankah hal seperti ini biasanya hanya ada di belahan bumi barat sana?
Dalam ruang tak bernyawa, aku menggeliat lemah dengan gelimang basah darah merah. Tenang memusatkan pikiran. Membangkit raga meninggalkan tempat ini. Aku perlu sekelumit waktu. Menghadirkan semua kekuatan yang perlahan sempurna menuju kosong. Pada titik kulminasi, tarikan pegas hadir sempurna. Tubuhku mencuat. Aku datang menjenguk bumi. Mengunjungi kehidupan, menyinggahi peradaban, dan dengan terseok-seok meninggalkan ruang tanpa manusia.
Aku mengunjungi orang-orang yang berbalut dekil menawarkan kertas-kertas di lampu merah, atau yang memasang tampang iba sembari meletakkan sebuah wadah di atas tangan. Merasa orang yang melahirkanku tak ada di sana, aku menyerusuk ke pasar yang tak jauh. Aku terseret ke tempat gelap. Di sana kuciumi asap rokok, bau alkohol, lalu semacam barang yang tak seharusnya dikonsumsi manusia, belakangan aku mencium … anyir sperma! Terakhir sebelum aku meninggalkan tempat itu, aku mendengar desah manja seorang wanita dari ruang tertutup. Aku terhenti tapi kemudian meneruskan langkah. Bukan orang yang perlu aku temukan.
Ah, andai sang wanita muda tak meninggalkanku sendirian di tong sampah, dan tidak membiarkan kulitku dilumat serigala, aku tak perlu melihat sebagian kecil dari tingkah-tingkah kotor manusia ini. Dalam lumur kering merah marun aku kembali berlayangan. Mencari sang wanita.
Bau amis dan darah hebat melekat. Aku melihat jubelan daging di atas meja-meja beralaskan mika. Di sebuah pojok, dengan sudut mata aku melihat daging yang tak seharusnya di sana. Daging babi. Aku merangsek meninggalkan onggok-onggok daging itu. Menuju tempat yang lebih kering. Suara bising menggema dimana-mana. Teriakan, juga ocehan ibu-ibu yang menawar harga atau membicarakan apa saja. Aku kembali melesat.
Detik-detik merangkak gemulai. Meninggalkan hari yang sisakan selaksa episode. Malam arungi bumi. Aku kembali ke tempat siang tadi. Lampu merah. Sejenak diam. Ditemani tetes-tetes embun yang berdatangan menuju pertengahan malam. Mengharap seorang wanita hadir. Namun tak ada getar batin terasa. Aku lihat gadis muda dengan lelaki paruh baya bercengkrama mesra. Di titik sempurna malam, ramai semakin menjadi-jadi. Ramai dengan para pria dan wanita yang menjamah waktu dalam gulatan hitam. Inikah lingkungan dan kebudayaan manusia itu sebenarnya?
Aku berniat meninggalkan tempat ini. Bersiap melaju ke tempat yang dihuni orang-orang putih. Namun cahaya itu kilau sekali. Menembus mata hingga selaput jala berontak perih. Apa waktuku sudah habis? Cepat sekali. Badanku melemah. Aku tak lagi berlayangan. Tersungkur mengecup tanah.
Dalam gelap aku menggerakkan raga. Aku kembali berada di sini. Ruang tak bernyawa. Terdengar suara gaduh para bayi. Aku melihat mereka. Mereka tertawa. Tak ada tangis seperti bayi-bayi merah yang lahir ke dunia. Aku melayang ke arah mereka.
“Apa kalian tidak mencari ibu kalian?” tanyaku.
Jawabanku direspon oleh seorang bayi yang berkulit gosong.
“Buat apa aku mencari mereka. Apa kau tak lihat apa yang terjadi padaku?”
Aku memperhatikan para bayi itu. Tak hanya gosong. Ada bayi yang masih bergelimang air tuban. Berbau busuk sampah. Lalu ada yang membeku karena dingin. Semuanya masih dibalut dalam bauran merah pekat darah. Aku di sana sejenak. Memperhatikan mereka yang terus tertawa dan berkejaran sambil melayang-layang.
Kemarin ketika ruang tak bernyawa menghantarku menuju bumi aku tak  memperhatikan tempat ini. Ruang yang besar. Aku mendekati cermin raksasa. Kami sejajar. Ia mengeluarkan gambar-gambar abstrak dengan siluet hitam putih. Tapi tak lama. Kemudian aku melihat gambar sosok wanita. Dan… aku terkesima.
***
“Aku pergi.” ujarku lama kemudian.
“Kau mau kemana?!” ujar bayi gosong lagi.
“Mencari ibuku.”
“Dia meninggalkan kau seperti ini. Berdarah-darah karena dimangsa serigala.”
Aku tak peduli lalu pergi. Meninggalkan bayi-bayi merah. Wanita itu sekarang sudah jelas. Aku akan menemuinya. Setelah semua selesai aku akan kembali ke ruang tak bernyawa. Tempat tak ada yang berbuat dosa. Tak ada yang membunuh. Tak ada yang melakukan perbuatan bodoh. Tak ada yang menjual diri. Tak ada yang menjadi pembohong. Tak ada yang mengelabui manusia. Semuanya tak ada.
***
Aku dalam perjalanan menuju ruang tak bernyawa setelah menghujam lambung seorang wanita dengan sebilah belati. Di bawah terik aku melayang rendah. Misiku selesai. Aku lega telah membawa wanita itu ke duniaku. Tapi sayang, tempatnya bukan di ruang tak bernyawa. Perjalanan dalam gelimang panas ini berakhir. Tidak  lagi aku berkubang dalam dingin dan tetes-tetes keringat yang menguar tawar di sela-sela pori. Tidak lagi aku melihat ulah-ulah bodoh manusia. Dan cukup kali ini aku berurusan dengan dunia fana manusia. Walau kusesali, kenapa aku harus jadi korban lingkungan dan budaya yang semakin melarat. Perzinaan, perkosaan, dan seks bebas. Aku korban dari semuanya. Pelan tetes air mataku jatuh menyepah bumi.
Aku tiba di ruang tak bernyawa. Terbelalak kaget melihat bayi-bayi merah yang bertambah banyak. Bergumul merah darah dan bau asin dalam bentuk mengenaskan.
“Kau korban baru dari peradaban manusia ya?” tanyaku pada seorang bayi.
Dia mengangguk. “Lingkungan dan budaya negeri ini semakin gila.” katanya kemudian.
“Apa kabar bayi-bayi kecil?”
Aku menoleh ke pemilik suara.
“Kita bertemu lagi sayang.” ujarnya lirih.
“Ibu?” aku tak percaya.
Ia tersenyum misterius dan mendekat.***

Fragmen cermin raksasa. Epilog.
Aku perhatikan wanita itu baik-baik. Ia lari di kegelapan. Melihat-lihat ke belakang seperti orang yang diuntit. Ia berhenti di dekat tong sampah. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Yah, bungkusan bayi. Ia memasukkanku ke sana dan pergi. Belum  jauh ia melangkah, aku melihat sosok wanita berdiri di hadapannya. Wanita yang raut mukanya tak jauh beda dengan wanita yang menaruhku di tong sampah.
“Kau telah membuat papa tiada sayang.” bisiknya pelan. Di tangannya ada sebilah belati. Aku melihat bayangan malaikat maut membawa roh ibuku. Aku menangis keras. Pandangan sang wanita beralih ke arah tong sampah. Kemudian dia mendekat.

* Juara 1 dalam Lomba Cerpen Tema Lingkungan dan Budaya dalam Semarak GAGASAN 18TH. Diadakan oleh GAGASAN. Koran Kampus UIN SUSKA Riau.                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar