Cerita Dari Al-Quds
: Karya Ilham Fauzi
Negeri Para Nabi. Bumi
Al-Aqsa. 1420 H.

Namun bagaimana dengan sebuah
negeri yang berada di pesisir laut tengah benua Afrika. Diserpih kedinginan
sejak Zulkaidah memasuki. Tak ada aroma gurun mempertajam dahaga. Pun tarian
pasir mempertontokan badainya berputar-putar mengerikan. Di penghujung tahun,
hawa panas tak begitu hebat menjalar. Takluk karena kedinginan begitu berkuasa merasuk ke sumsum
tulang. Namun tetap saja daun-daun kurma dan zaitun tak segar menghijau. Mereka
tertunduk tak semangat. Bukan hanya karena dingin bercokol di titik 10 derajat
celcius. Namun karena sebuah luka. Luka yang tak berhenti mencecerkan darah.
Luka di tanah Al-Quds.
-Amir-
Aku memimpikan itu.
Ketika kami melewati matahari pertama di bulan Muharam tanpa mendengar bunyi-bunyi peluru yang hilir mudik mencari
alamat. Semuanya mesti terus terjadi. Peluru itu akan terus berdansa memuntahkan timah panas. Semua tak
akan terhenti. Hingga kini aku sepuluh tahun, tak ada sedikit jeda untuk tanah
ini didiamkan dari desing-desing yang menyesakkan dada.
Semua tak kami
kehendaki. Walau begitu, di penghujung Hijiriah ini aku, abi, umi, dan Afuf,
adikku, akan mengadakan pesta kecil-kecilan seusai subuh. Di sini tak akan ada
peringatan besar-besaran yang menandakan Zulhijjah telah berlalu. Sebab
penjajah tanah ini tak akan membiarkan semuanya berlalu dengan aman. Mereka
akan menambah luka lagi.
Abi membangunkanku dan
Afuf seperti biasa. Kami sholat subuh berjamaah. Abi akan larut sebentar dalam
zikir al-matsurat pagi. Sementara aku dan Afuf bergeming nakal. Selesai itu,
abi membukakan pintu dan kami mulai “berpesta”. Menunggu fajar Muharam
menyemburat.
“Tahun baru datang lagi
Abiiii!” aku meneriakkan itu yang juga disusul oleh Afuf dengan terpatah-patah.
Ia baru berumur dua tahun. Umi akan sibuk menyajikan makanan yang lain dari
biasa. Tahun lalu umi membuat daging panggang flatbreads1.
Untuk sekarang aku meminta manakeesh.2.
Kami memasaknya di luar
dan mengangkut barang-barang yang diperlukan. Abi menyalakan api unggun. Kecil
saja. Suasana gelap adalah target yang mengempukkan bagi tentara yahudi
melenyapkan kami. Serangan-serangan biadab itu biasanya dilancarkan ketika
gelap masih mengepul. Yang paling khawatir adalah abi. Hanya untuk satu kali
ini saja abi mengizinkan.
“Aku bukan anak kecil
lagi Abi. Aku sudah menjadi abang sekarang. Aku tak takut berhadapan dengan zionis-zionis itu.” sebuah
protesku pada abi yang pernah aku lontarkan. Abi hanya tersenyum dan
mengacak-acak rambutku. Tak mengatakan sepatah katapun.
Dingin masih berkuasa
dengan tahtanya. Umi menggelar tikar pandan di bawah pohon kurma yang daunnya
sangat lebat. Abi menenteng kompor mini. Dibantu Afuf dibelakangnya. Mengangkut
bahan-bahan untuk manakeesh. Seperti
minyak zaitun, oregano3,
bawang, rempah-rempah dan saus panas. Selain itu juga diselingi dengan yogurt sederhana
buatan umi dan chai 4 hangat.
Aku menceritakan segala keinginan yang harus terwujud tahun ini. Aku harus
hafal lima juz lagi. Mempelajari AK-47. Afuf juga bercerita tentang
keinginannya. Kami hanyut dalam tawa hingga nanti pagi benar-benar sempurna
dalam kilauan terang.
“Bang Amir! Gelas untuk chai masih didalam. Tolong ambilkan.”
Afuf menyela dengan suara cadelnya.
“Baiklah.” ujarku sambil
melangkah ke dapur yang agak jauh ke belakang.
Aku kembali dari dapur
dengan membawa teko berisi chai
hangat dengan hati-hati. Keseimbanganku menggoyah ketika dentuman keras
menggetarkan tanah. Aku terpaku namun tak perlu lagi mengeluarkan tanya.
Roket-roket keji itu mengunjungi rumahku. Tepatnya menghantam pekarangan rumah
dimana abi, umi, dan Afuf tengah berada. Dengan hentakan kaki yang bergerak
kilat, aku merangsek ke depan.
Abi, umi dan Afuf
terpental dalam leleran darah yang membanjir. Sedangkan deru-deru pesawat
yahudi mulai menjauh. Aku mulai terisak-isak. Terduduk sambil memeluk lutut.
Aku tak sanggup mendekati mereka. Sungguh tak sanggup. Aku hanya menatapi
minyak zaitun yang dibawa Afuf tertumpah. Daging-daging yang akan dipanggang
umi terpental. Kompor mini abi tersungkur, sujud di pasir. Aku mulai menangis.
Semakin mengeras. Semuanya menyisakan pedih yang menghujam.
***
Gaza
dalam merah. 1432 H.
-Nur
Putih-
Atas perintah Tuhanku,
aku melesat menuju bumi. Seperti biasa, mencatat apa yang diperbuat manusia di
tanah milik pencipta mereka. Namun tak hanya itu, aku datang untuk menjemput
kalian. Mengambil ruh dalam dua keadaan. Keadaan sebaik-baik rupa. Ditangisi
banyak orang. Disholati dalam banyak shaf. Bahkan terus dikenang. Atau bisa
jadi ketika kalian dalam keadaan seburuk-buruk rupa. Menggumpal dalam beku
darah. Mengonggok dalam tumpukan daging yang mengaroma busuk. Atau dalam
keadaan yang sangat menyedihkan. Hina
dalam pandangan manusia bahkan mungkin juga hina dalam pandangan Rabb-ku.
Gaza meremang pekat. Aku
tiba di tanah kematian ini. Tanah seluas 360 km2. Kembali aku
bertasbih memuja Rabb-ku. Tempat ini benar-benar gelap bagi kalian ukuran
manusia. Ritme kehidupannya tak terlihat menghembuskan nafas. Sama halnya
ketika aku melintas di Tepi Barat. Bahkan Baitul Maqdis yang mampu menampung
hingga dua ratusribu umat, sunyi tak bernyawa. Mendiam. Menyatu dalam bekuan
dingin.
-Nur
Putih-
Mereka memanggilnya
dengan Amir. Aku mencatat ia yang selalu terjaga dalam sujud panjang disepertiga
malam terakhir. Melantunkan hafalannya yang sempurna 30 juz. Wajahnya kilat
bercahaya. Tak salah Tuhanku mengatakan bahwa manusia adalah sebaik-baik
mahkluk. Tapi hanya manusia-manusia pilihan-Nya.
“Amir, bagaimana kalau
kita melakukan pengungsian dulu ke Tepi Barat. Di sana kita bisa menyatukan
semua kekuatan yang berada di Betlehem, Hebron, Ramallah juga di Jerusalem.
Setelah itu kita bisa kembali ke sini merebut Gaza. Bukankah Allah akan terus
bersama kita.”
Wajah yang masih muda
itu menatap ke wajah yang baru saja berbicara. Kemudian mengulas senyum. Dengan
tenang ia beujar. “Gaza memanglah tanah kering yang tak punya kekayaan apa-apa.
Meski begitu, ini adalah tanah kita. Kita tak boleh meninggalkannya sedetikpun
dan membiarkan mereka mendudukinya. Kekuatan kita akan tetap di sini. Sementara
di Tepi Barat biarlah mujahid di sana mengatur strategi.”
Wajah itu tertunduk. Tak
lama, pertemuan sembilan orang itu
berakhir. Mereka meninggalkan ruang rahasia tempat mereka biasa mengatur
strategi. Siasat perang selanjutnya telah diatur.
Sekarang
tugasku di sini. Aku akan berhadapan dalam sepenggal cerita yang bertaruh
nyawa. Atas perintah Rabb-ku, kali ini aku menjelajahi tanah Al-Quds.
-Nur
Putih-
Mereka
yang mengajarkan kami perang. Semenjak mereka merenggut abi, umi dan Afuf, aku
juga tak akan berhenti memerangi kalian. Tidakkah pernah kalian rasa, jika
dengan tiba-tiba kalian kehilangan orang yang kalian cinta wahai yahudi
terkutuk? Apa nurani kalian demikian tertutupnya sampai-sampai kalian hanya
memikirkan kepentingan kekuasaan kalian saja. Takkah terpikir, Tuhan
menghadirkan tanah ini bukan untuk kalian semuanya. Tuhan juga memberikannya
untuk kami. Takkah terpikir yahudi? Takkah?
Ia sesegukan mengucapkan
kata-kata itu. Hanya sebentar. Kemudian ia menulis beberapa menit. Kulihat ia
meneteskan air mata. Degup jantungnya berdetak cepat. Perlahan tetes peluh muncul
dipelipis dahinya. Ia menghembuskan nafas dan menyandarkan tubuh.
Walau ruangan itu tidak
besar tapi isinya padat. Di sana terdapat banyak kitab-kitab. Di dinding
ditempel peta Jalur Gaza dan Tepi Barat. Beberapa senjata dan peralatan medis
tergeletak begitu saja. Aku pastikan ruangan ini merangkap sebagai ruang
pribadi sang Amir.
-Nur
Putih-
Mereka kembali melakukan
misi. Menyusuri setapak jalan yang merona hitam di gelap dini hari.
Langkah-langkah itu berderap melintasi semak belukar. Tembok-tembok yang dibangun
yahudi sepanjang daratan agar menyulitkan. Namun mereka selalu punya cara.
Posko-posko yahudi yang berada disepanjang jalur gaza harus dihancurkan. Mereka
akan terus membunuh warga-warga Gaza yang lewat.
AK-47, roket anti tank
RPG, ranjau, dan beberapa jenis roket lokal menunggu untuk dimainkan. Bersiap
melawan tank Merkava, pesawat tempur canggih F-16, heli tempur Apache, serta
ribuan bom canggih buatan Amerika.
Meski
dengan senjata itu cukup menyulitkan kalian melawan Israel, tapi kekuatan
Rabb-ku akan selalu mengiringi kalian. Aku siaga manusia putih. Aku siap
kapanpun membawa kalian. Dengan senang hati. Akan kuhantar lansung menuju
firdaus-Nya atas izin Tuhan-ku.
-Nur
Putih-
Aku kembali. Di ruangan
sempit dan kecil milik Amir. Tempat ia menghabiskan malam-malamnya dalam sujud
panjang. Diiringi luruhan air mata yang membasahi sajadah.
Lengang. Mereka masih
dalam perang yang menitikkan darah. Kulihat kertas yang pernah ia tulis. Aku
menyentuhnya.
Menuju Muharam baru. Tahun harapan.
Jika
di tanah ini air tak lagi bisa menyelamatkan segalanya, biarlah. Jika di tanah
ini angin juga tak lagi datang membawa kabar pertolongan, juga biarlah. Bahkan
sampai tanah ini juga tak mengizinkan lagi untuk hidup di sini, tetap
biarkanlah. Bukankah semuanya masih bisa terus dilanjutkan? Meski mereka tak
lagi sahabat kita, meski mereka mengabaikan kita, meski mereka menzalimi kita,
dan meski mereka menistakan kita.
Kita
tak perlu khawatir apalagi takut. Sebab bukankah di sini kita masih berdiri
membentuk lingkaran. Selama rantainya masih erat, semuanya akan baik-baik saja.
Di sini masihlah ada pemuda-pemudan-Nya yang teguh memegang janji.
Pemuda-pemuda yang tak akan mundur ketika tanah-Nya digumuli kenistaan. Pemuda
yang tak akan berdiam diri jika saudaranya dibinasakan.
Namun
jika akhirnya tetap ada yang mengkhianati kita, kita juga tak perlu takut.
Sebab kita akan menunjukkan betapa dahsyat kekuatan kita. Semuanya selama kita
tetap berpegang erat dalam satu jalan. Satu jalan menuju kemenangan Palestina.
Sebuah pesan. Pesan
kematian untuk menemui Rabb-ku. Tanah Al-Quds takkan pernah berhenti mengurai cerita
merah. Semoga jundi-jundi kecil Allah membacanya dan meneruskan perjuangan sang
Amir.
-Nur
Putih-
Mereka masih belum
kembali. Aku bersiap meninggalkan tempat ini. Menemui Rabb-ku. Aku belum
ditugaskan untuk membawa mereka.
Pintu berderit. Nafasku
tertahan. Hanya Amir yang akan memasuki ruangan ini sendirian. Dan dia bukan
Amir. Seseorang yang mengusulkan agar semua kekuatan dipindah ke Tepi Barat.
Dengan senyum licik mengeluarkan barang digenggamannya. Peledak waktu kiriman
Amerika. Ia menyelipkan diantara kitab-kitab. Tak sampai satu menit ia keluar.
Semuanya telah ia pastikan dengan baik. Ia menjamin satu jam lagi mereka akan
kembali. Setelah itu….
Pintu
kembali tertutup. Kertas yang ditulis Amir tertiup dan tersungkur di atas tanah. ***
Catatan :
1 Daging panggang flatbreads = Roti
berbentuk pipih yang dibakar atau digoreng dengan isi dalam daging panggang.
Biasa juga disebut pizza.
2
Manakeesh
= Pizza tapi
diatasnya ditambahkan minyak zaitun, keju yang diparut, oregano, bawang,
rempah-rempah dan saus panas.
3
Oregano
= Sejenis sayur
atau dedaunan. Di Indonesia seperti selada atau daun kemangi.
4
Chai = Teh bangsa timur tengah. Memiliki
rasa dan penyajian yang khas. Disuguhkan dalam gelas kecil yang berdiameter
tiga sentimeter.
*Juara 2 dalam Lomba Cerpen Islami Muharam
Fair 1432 H yang diselenggarakan FKII Asy-Syams UIN SUSKA RIAU. 4 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar