Gang Kamboja
§ Ilham Fauzi
Gang kamboja tiga tahun lalu.

***
-Fatih-
Ini pertama aku memasuki SMA 8
Pekanbaru yang paling bergengsi di kota ini sebagai salah satu siswanya. Hari
pertama masa orientasi mengasyikkan. Banyak teman-teman baru disini, sedangkan lama
ketika SMP hanya beberapa saja yang terlihat, itupun tidak terlalu akrab. Bahagia
itu tak tahu lagi harus diungkapkan karena akhirnya predikat sebagai siswa putih
biru berakhir sudah. Sekarang aku kembali memasuki dunia baru, menjalani masa putih
abu-abu yang disebut masa-masa paling indah. Baru kali ini aku merasakan
ketenangan saat tidak ada yang mengusik tentang kediamanku di gang kamboja. Ah gang
kambojaku.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gang yang menuju
rumahku ini. Hanya perlu jarak seratus meter untuk sampai ke rumahku dari mulut
gang kamboja, namun hanya ada satu jalan. Ujung jalan gang kamboja ini
selanjutnya masih hutan. Selain itu hanya ada dua rumah di gang ini, rumahku dan
rumah Fitri, tetanggaku. Masalahnya bermulai ketika kejadian tragis tiga tahun
lalu. Teman-teman SMP ku mulai menamakan gang kamboja sebagai sarang hantu atau
dengan kata yang lebih kejam, “Bukan ke rumah Fatih kalau tidak bertemu hantu
dulu.” Mulai sekarang, semuanya akan berubah, tak ada lagi yang meledekku
tentang gang kamboja.
Papa bekerja di salah satu perusahaan minyak di kota bertuah
ini. Sayangnya papa tidak memilih tempat tinggal kami di pusat kota, tapi di Rumbai, tujuh kilometer jaraknya dari pusat
kota Pekanbaru. Tempat ini masih banyak hutannya. Memang penebangan tiga tahun
lalu rencananya untuk pembangunan perumahan, tapi nyatanya sampai sekarang
masih berbentuk hamparan tanah lapang saja yang kini sering dijadikan anak-anak
tempat bermain bola setiap sore. Aku tak mau ambil pusing dengan pembangunan
ini, mau dilanjutkan atau tidak, ya terserah. Yang terpenting setelah SMA ini
aku bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri favoritku. Itu saja.
-Fanny-
Menyebalkan. Aku bertemu dengan Cica yang benar-benar
membuatku naik darah. Baru hari pertama sekelas sama dia. Aku tak membayangkan
bagaimana hari-hari selanjutnya. Tak ada yang salah sebenarnya kalau saja kami
tidak bertemu dalam seleksi debat semester lalu. Ia kalah dan
menabur dendam kepadaku
“O ya, lomba debat tingkat provinsi kemarin kamu kalah ya? Kamu yang kemarin juara umum kedua setelah aku kan? Kamu yang tinggal
di gang kamboja itu? yang terkenal dengan hantunya? Atau jangan-jangan kamu …”
“Plak!” Bunyi itu mengakhiri ocehannya yang memang harus
segera dihentikan. Ia meraba pipinya, kilat matanya menatap kearahku. Tajam.
Seakan tabuh perang itu mulai berkobar di hari pertama kami memasuki bangku
kelas dua SMP. Ia pergi dan ini sepertinya belum selesai.
Kalau saja ia tak meremehkan aku, kalau saja ia tak
merendahkan aku, dan kalau saja ia tak menyinggung tentang gang kamboja, tentu
aku tidak akan marah seperti ini. Dan gang kamboja… Ini memang gara-gara gang kamboja.
Dari awal dinamakan gang kamboja aku memang tidak setuju, tapi apa mau dikata.
Sekalipun aku mengumbar-umbar rasa tidak suka atas penamaannya, tetap saja
semuanya tak akan berubah. Kata Papa, semua memang sudah ketentuan dari pihak
RT, suka tidak suka harus diterima. Meski dalam hati aku tetap tidak rela,
seperti tidak ada nama yang lain saja. Gang mawar kek, gang melati, atau gang
anggrek. Lebih keren dan tidak menakutkan. Masa bunga yang tumbuh di kuburan
dijadikan nama gang. Sedang kata Bang Fatih “Sabar adek manis, hantunya pasti
takut kok sama orang manis kayak kamu.”
-Fatih-
Bertemu dan malangnya sekelas lagi dengan Sarah musuh
lama sejak SMP. Aku tak habis pikir kenapa terus sekelas sama nona satu ini.
Yang aku takuti bukan karena harus bersaing lagi dengan Sarah yang memang rival
terberatku, tapi.. Ah!
“Gimana
kabar gang kamboja kita Tih, aman kan?”
Sepatah kata itu cukup membuatku tak berkutik, hanya diam
pilihan terbaik untuk mengatasi mulutnya yang usil itu.
-Fanny-
Sebenarnya ribet juga menerima tantangan si
Cica, apalagi kalau mama tahu. Tapi bagaimana lagi, ini tak bisa ditolerir. Sombongnya
itu seperti tidak mau hilang. Walau sudah pernah ditampar, tapi sepertinya tidak
kapok juga. Mungkin ia butuh tamparan kedua.
“Kalau
aku yang terpilih sebagai karya terbaik, kamu ngasih aku 100 ribu, sedangkan
kalau aku kalah, kamu dapat 200 ribu. Gimana, sanggup? “
Gimana, Sanggup? Sungguh kata-kata yang meremehkan. Kalau
hal terburuk sampai terjadi, pilihan terbaik bicara empat mata dengan papa dan
melobi bang Fatih agar meyakinkan Papa. Seratus ribu lumayan juga, uang jajanku
seminggu. Lagian Bu Tutik ada-ada saja,
disuruh membuat tulisan dalam bentuk apapun tentang sesuatu yang sangat kita
sayangi. Tulisan terbagus akan diikutkan dalam seleksi awal lomba FLS2N, tulisan
ini akan di seleksi mulai dari tingkat sekolah, lalu kota, provinsi dan
berakhir di tingkat nasional. Sepertinya boleh juga, tapi apa ya? Ah, pusing.
-Fatih-
"Eh eh, tadi malam waktu aku melewati gang kamboja
tiba-tiba saja bulu kudukku merinding. Untung aku hafal surat Yasin, jadinya
ya…"
Lunak
terdengar suara Sarah dari depan kelas tapi jelas terdengar ketelingaku.
Disampingnya Alya, Itit, dan Wela konsen mendengar. Kelas sepi, hanya beberapa
siswa saja yang berada di kelas karena sedang jam istirahat. Kelihatannya
keempat gadis-gadis itu lebih senang menghabiskan waktu istirahat mereka dengan
mengobrol, seolah-olah mengobrol adalah sesuatu yang sangat penting. Aku
sendiri duduk di bangku belakang sambil membaca buku biologi yang menutupi
seluruh wajahku.
"Apa bedanya jika kamu tidak hafal Sar, pasti kita
akan selamat juga." Alya membantah argumen Sarah yang terdengar asal.
"Yah kamu Al, masa tidak tahu kalau gang kamboja itu
seram. Kalau sejarah gang kamboja saja kamu tidak tahu, bagaimana dengan
sejarah bangsa kita. Bangsa yang besar itu kan bangsa yang…”
"Hey, dengar ya Sarah Romantis! Otak aku hanya menyerap sejarah yang benar-benar
valid, tidak seperti kamu!" Alya
langsung tidak terima dengan ucapan Sarah. Hening sesaat. Seperti ada yang
perang dingin.
"Mm, maaf Al, bukan maksud aku kayak gitu. Aku
cuma,"
"Cuma bercanda?" Sarah diam. Terdengar langkah
Alya meninggalkan tiga temannya itu.
"Kamu Sar, bercanda itu kira-kira. Jadinya Alya
ngambek tuh." Itit menimpali.
"Biarin, aku sudah minta maaf kok." elak Sarah.
"Iya, tapi coba mengerti perasaannya juga dong. Itu
kan sudah menyangkut ke hal yang sensitif."
"Sudah ah. Nanti baikan juga."
Itit diam, tak berkomentar lagi.
"Memang malam tadi kalian kemana malam-malam lewat
gang kamboja?" Wela buka suara.
Sarah diam sesaat, lalu kembali berujar. Sepertinya ia
tak menyadari keberadaanku.
"Sst, jangan sampai si Fatih tau ya. Tadi malam aku
dan Alya jemput Cica ke sanggar, dia latihan ekstra karena besok ada tampil di
acara besar gitu. Memang tak ada pilihan lain selain harus melewati gang
kamboja yang sepi itu."
"Sebenarnya ada apa sih Sar dengan gang kamboja? Apa
ada hantu, kuntilanak, atau wewe gombel mungkin?" Ujar Wela yang disambut
dengan gidikan ngeri Itit.
"Eh Wel, kamu itu jangan asal ngomong. Yang ada tuh
pocong," Sarah bukannya meluruskan argumen Wela.
"Haa, pocong?" Sahut Itit dan Wela serempak.
"Kok bisa, gimana sejarahnya?"
"Nggak tauu."
Aku bangkit dan berjalan keluar. Tak tahan lagi mendengar
celoteh-celoteh itu. Tiga pasang mata mengekor melihatku lewat dihadapan
mereka.
-Fanny-
Aku cinta gang
kamboja
Gang kamboja,
disanalah aku dibesarkan oleh mama. Walaupun aku selalu merindukan kampungku
nan indah dengan dengan hamparan sawah yang bertingkat-tingkat dan dipadu
dengan batu-batu besar yang membuatku betah bermain disana tapi gang kamboja
adalah cinta keduaku. Biarpun sekelilingnya banyak hutan, aku akan selalu cinta.
Gang kamboja bukanlah tempat yang buruk seperti yang dipikiran orang-orang
selama ini, sekali lagi bukanlah sesuatu yang buruk. Karena dengan dibesarkan
dekat hutan aku lebih cinta dan peduli pada lingkungan. Digang kambojalah aku
mendapatkan keteduhan, karena ada hutan yang selalu meneduhiku, gang kambojalah
yang memberiku kesejukan dengan lambaian pohon yang selalu meniupkan angin
kesegaran. Gang kamboja juga memberikan ketenangan. Sebab tak ada bising di
sini. Tidak hanya itu, gang kambojalah yang menyelamatkanku dari banjir,
meyelematkanku dari kegersangan. Gang kamboja adalah sebagian dari jiwaku.
Sungguh, jika tak ada gang kamboja hidupku pasti merana.
Mata Bu Titik berbinar-binar ketika sepuluh menit
kemudian suaraku mulai berhenti. Sepertinya ada feeling nih. Ya biarpun dalam hati aku tidak mengaminkan apa yang
aku tulis. Tapi mudah-mudahan saja.
-Fatih-
Sore teduh dengan sinarnya yang tak
terlalu garang. Gumpalan awan berarak pelan. Aku sedang duduk di beranda rumah
sambil memperhatikan anak-anak yang sedang bermain bola. Sesekali terdengar
teriakan heboh mereka saat secuil bola itu gol. Sepertinya anak-anak itu tidak
ambil pusing dengan mitos-mitos yang beredar tentang gang kamboja seperti yang
menjadi perbincangan hangat Sarah cs.
Suara heboh Fanny dan teman-temannya dari dalam rumah membuatku
mau tak mau menyimak pembicaraan mereka.
"Sepertinya Cica tidak terima dengan kekalahannya
tadi?" Adikku itu berujar sambil menghempas nafas resah.
“Biarin saja Fan, kan dia yang memulai. Kita do’ain semoga
untuk seleksi selanjutnya kamu lolos lagi. Amiin.”
“Iya, makasih.”
“Mm, Fan, apa yang sering disebut-sebut Cica itu memang
benar ya?" seorang teman Fanny terdengar bicara dengan nada hati-hati.
“Huft, kalian kok percaya sama dia. Aku saja selama
tinggal disini tidak melihat hal-hal yang aneh. Positif thingking saja.” aku tersenyum mendengarnya.
“Ooo.” kompak mereka ber o ria.
"Tapi kata Mamaku arwah orang yang ketimpa pohon itu
masih suka kelayapan deh Fan." satu suara menyela.
"Aduh Moni, udah deh, jangan ngomongin hantu lagi. Nanti
kalau kita diculik, populasi orang manis kayak aku itu semakin menipis loh."
“Haaa?” kembali suara itu terdengar kompak. Aku terkikik.
“Kita tidak boleh takut dengan apapun kata orang tentang
gang kamboja, yang harus kita lakukan banyak-banyak bikin pahala.” lanjut adikku
itu bijaksana.
-Fatih-
Aku baru saja selesai mengerjakan tugas fisika di ruang
tamu. Sudah pukul sepuluh. Papa dan Mama sepertinya sudah tidur, tidak
terdengar lagi suara tv dari kamar mereka. Fanny masih main di rumah Fitri.
Baru saja aku akan beranjak kedalam kamar, terdengar bunyi sepeda motor
berhenti.
"Sarah?" Ujarku kaget.
Ia nyengir. "Maaf ya kejadian siang tadi." lanjutnya.
"Iya, iya. Tapi ada apa datang malam-malam?"
"Aku baru pulang dari gor lihat pertunjukan Cica,
baru tahu kalau besok ada pr fisika. Tapi bukuku sama Alya, pinjam buku kamu
ya? Sebentar ini aku sudah kerumah Alya, tapi tidak ada respon, ya mungkin
karena kejadian tadi siang kali ya.” Sarah langsung panjang lebar menyampaikan
misinya.
"Nih!" kuangsurkan buku yang diinginkannya itu.
"Oke, terima kasih Fatih yang baik. Sampai jumpa
besok. Daah."
“Tidak perlu diantar nih?”
“Oh tidak usah, terima kasih.” katanya sambil menggas
motor maticnya itu.
Aku menutup pintu, tidak dikunci. Sebentar lagi Fanny
pasti pulang. Tak lama aku larut dalam novel Percy Jakson karangan Rick Riordan.
Pintu kamarku terkuak, Fanny muncul dengan nafas yang ngos-ngosan. Aku langsung
mengalih perhatian.
"Kenapa?"
"Gila, ternyata gang ini benar-benar ada hantunya
Bang. Sebentar ini Fanny dengar ada suara rintihan minta tolong. Pasti..."
Fanny tidak melanjutkan.
Aku geleng-geleng kepala. Kirain keimanannya sudah bisa
diacungin jempol, eh ternyata sama saja
dengan Sarah.
"Ya tidak mungkinlah, kan sudah ada dalam al-Quran
surat..."
"Stop, stop. Plis deh Bang Fatih, jangan ceramah.
Sekarang Fanny tidur disini ya. Ngeri nih. Ia kembali menarik nafas"
"Eh, tidak boleh tidur sama kakak laki-laki. Sudah,
harus berani! Kalau ada apa-apa teriak saja. Abang segera ke sana. Okey?"
Adik bontotku itu merengut.
-Fatih-
Pagi kembali menebar sayap terangnya. Kicauan merdu
burung balam peliharaan papa bersimfoni merdu mengiringi gerakanku membersihkan
debu-debu di sepeda motor. Aku tertuju ke arah mulut gang kamboja. Ada ribut-ribut.
Tampak Pak RT, Papa, Ayah Fitri, juga Fanny yang ikutan nimbrung serta beberapa
warga yang kebetulan lewat berkumpul dimulut gang. Aku segera mendekat.
"Pasti ini di bawa banjir Pak Rt." terdengar suara
bapak yang bertubuh jangkung.
"Ah, Pak Edi ini ada-ada saja. Tidak mungkinlah,
semalam saja tidak ada hujan kok." Sahut Pak RT.
Aku terbengong-bengong mendengar ucapan Pak Edy itu. Kok ngomong
banjir sih? Tiba-tiba pandangan Papa tertuju padaku.
"Tih! Papa tahu kamu tidak suka dengan nama gang
kamboja ini. Tapi jangan gangnya dicopot segala. Sekarang kamu buang dimana
plang gang kamboja ini?" Papa mengintrogasiku.
"Haa?" Aku tercengang dengan ucapan Papa itu.
Siapa juga yang mencopot, lagian kalau aku copot apa untungnya?
"Papa sembarang tuduh nih, buat apa juga Fatih copot
Pa?" Aku protes.
“Ya siapa tau.”
"Iya, papa ini sembarang tuduh saja. Bukan Bang
Fatih pa, tapi hantu orang yang waktu penebangan pohon ini dulu, semalam saja
Fanny ada dengar suaranya kok" Fanny sepertinya membelaku tapi jawabannya
itu membuatku tambah gemas saja.
"Saya tadi malam juga dengar lho Pak RT," Bu
Muti yang rumahnya tidak jauh dari mulut gang kamboja ikut menimpali.
Papa, Pak Rt, Ayah Fitri dan beberapa warga yang ada
disana saling berpandangan. Aku tak menanggapi, percuma memprotes. Kuperhatikan
lubang tempat ditancapkannya nama gang kamboja. Tidak ada. Tidak ada lagi plang
gang kamboja tertancap disana. Gang kambojaku benar-benar hilang.
"Jangan-jangan diambil maling Pak RT!" Kata
seorang Bapak lagi.
Pak RT tak menanggapi lagi.
Aku kembali memperhatikan lubang tempat plang gang
kamboja ditancap. Benar-benar tak ada petunjuk. Aku beranjak meninggalkan
kerumunan itu dan berharap bukan hantu gang kamboja yang melakukan ini. Ah,
ngelantur.
-Fanny-
Gang kamboja hilang? Apa peduliku. A ku benci gang
kamboja, benciiiii! Maunya aku pindah
saja dari gang ini. Ini lagi-lagi karena Cica.
“O ya, tidak salah lagi kan kalau gang kamboja tempat kamu
tinggal benar ada hantunya. Iya kan?”
“Maksud kamu?”
“Pura-pura tidak tahu lagi.” lalu dia kemudian berbalik.
Ujung-ujungnya dia malah mengatakan sesuatu yang membuat hampir seisi kelas
menatapku dengan tatapan yang tak biasa. Aku berusaha untuk tak menanggapi
kelakuan Cica yang kali ini benar-benar buat aku sakit hati.
-Fatih-
Terpaksa pinjam buku cetak fisika ke kelas sebelah,
lagian itu anak kemana ya. Keempat konconya bilang tidak tahu. Tidak seperti
biasanya Sarah seperti ini. Ia begitu berambisius, tak mungkin melewatkan
begitu saja fisika Bu Ester. Jangan-jangan... Ini tak mungkin!
-Fatih-
"Maaf ya Tih, aku tidak tahu lagi gimana nasib buku fisika
kamu. Seluruh tubuhku sudah remuk semua," ujar Sarah sambil merintih
kesakitan. Kayaknya ketinggalan disana.
Aku terkesima. Dalam hati membatin kalau iya kenapa tidak
ketemu ya bukunya tadi pagi?
“Iya, iya.” ujarku sekenanya. Terpaksa harus merelakan
buku itu sambil berharap ada yang menemukannya dan mengantarkan ke rumah.
Ketiga konconya Sarah menunjukkan sikap prihatin. Berbagai
pertanyaan melintas di benakku, dan dugaanku pasti hilangnya gang kamboja ini pasti
Sarah tahu. Tapi kalau melihat faktanya begini, tidak mungkin juga gang kamboja
hilang tak berbekas. "Memang kronologisnya bagaimana sih Sar?" Alya buka suara, sepertinya ia sudah melupakan
kejadian kemarin.
Sarah diam sejenak, kembali mengingat apa yang terjadi
tadi malam. Selanjutnya ia mulai buka suara.
"Waktu aku
sudah di mulut gang kamboja, ada kendaraan lewat. Aku berhenti dulu nungguin
kendaraan itu lewat. Saat nurunin kaki kiri, keseimbanganku hilang, tanahnya
tidak rata. Aku jatuh, dan yang parahnya aku malah mengimpit plang gang kamboja.
Ditambah lagi motor ngimpit. Aku sudah teriak-teriak, tapi tidak ada yang datan.
Setelah bisa bangkit, aku langsung menggas motor pulang. Soalnya…” ia tak
menyelesaikan kata-katanya.
Kulirik Alya cs, mereka sedang berat menahan tawa.
"Tapi ini tidak ada hubungannya sama pocong yang
kamu bilang itu kan Sar?" terdengar Itit sedikit berbisik.
Sarah mendelik ke arah Itit sambil sekilas melirik
kearahku.
"Sst," Ia tak meneruskan.
-Fatih-
Gang kamboja kembali tegak dengan gagah. Plang kamboja
yang sempat hilang memang tak ditemukan lagi. Tak ada kutemukan sebab yang
paling mungkin kenapa gang kamboja bisa hilang. Bisa saja ada orang iseng yang
mencabut gang kamboja. Tapi masa iya, gang kamboja kan sudah ditancap begitu
kuat.
Sudah dua hari ini tanah tempat anak-anak biasanya
bermain bola lengang. Tidak ada lagi yang bermain disana. Begitu juga dengan
temannya Fanny, mereka juga tak lagi datang ke rumah. Ah, aku menatap langit.
Gundah.
-Fanny-
Tak boleh siapapun tahu insiden yang dialami Sarah malam
itu. Aku melihat motor yang menyala agak lama di mulut gang kamboja, tapi
posisinya seperti rebah. Tapi tak lama kemudian motor itu segera pergi. Aku mendekat
dan melihat buku juga plang gang kamboja yang tergeletak begitu saja. Sekilas
seperti buku pelajaran Bang Fatih. Sejenak kupandangi antara gang kamboja dan
buku Bang Fatih. Aku harus melakukannya. Maaf.
*Nominator Lomba
Menulis Bersama Uda Agus Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar