Pintu
Langgar Terkunci
Ilham
Fauzi
Kekhawatiran ini semakin meraja ketika bus yang
membawaku pulang melewati deretan pohon-pohon
karet yang berjajar rapi. Tidak
seberapa lama lagi aku tiba. Senyap kehidupan
begitu terasa. Yang tersapu oleh mata hanya gurat-gurat wajah tua yang terus
telaten mencukurkan pisau dodos ke
batang karet. Mengharapkan keterusan hidup dari tetes-tetes getah yang memenuhi
batok kelapa. Sedang wajah-wajah segar yang baru saja muncul mengisi peradaban,
sama sepertiku. Meninggalkan tanah ini dan berniat mengubah kehidupan di
keramaian kota.
.jpg)
Kini ketika liburan
semester ganjil datang, aku bertekad menuntaskan hutangku itu. Meminta maaf
pada bibi Ais, istri paman Yudi. Semoga dengan kehadiranku yang tidak lama di
rumah, bisa menuntaskan rasa bersalah itu.
Aku melirik pergelangan
tangan. Pukul setengah satu. Waktu zuhur pasti telah masuk. Perjalanan ada dua
puluh menit lagi. Kusandarkan tubuh di kursi bus yang terus memudar warnanya
dengan kain yang lusuh. Kaca kiri-kanan berkabut debu. Atasnya terus mengusam.
Dicampur dengan asap bus yang masuk ke dalam. Kadang aku iri dengan transport
luar negeri seperti Mesir, Eropa juga Amerika yang menggunakan kereta api bawah
tanah yang nyaman dan bersih.
Pikiranku
melayang kembali pada rumah. Aku membayangkan Akbar, adik bungsuku, akan
menanyakan oleh-oleh. Anne, adik yang tertua muncul dengan menanyakan novel The Da Vinci Code yang sudah lama ia
idam-idamkan. Dan Fiji, terpaut dua tahun dibawah Anne, meminta notebook dan bermain game di sana. Lalu
aku teringat pada langgar di sebelah rumah. Enam bulan yang lalu, meski langgar
tidak begitu ramai dikunjungi waktu shalat berjamaah, ataupun dengan anak-anak
yang mengaji, namun langgar tetap hidup. Ada Bang Izai di sana yang
menungguinya dan mengaktifkan langgar. Bang Izai tidak bergaji untuk itu. Ia
dulu kuliah di tempatku sekarang. Juga menjadi aktivis kampus. Maka dengan
semangat itulah Bang Izai masih tetap bertahan untuk terus memberikan nafas
pada langgar. Saat ini Bang Izai bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dengan
status masih honorer. Aku bertekad dengan kepulangan kali ini, bisa menambah
jumlah anak yang mengaji ke langgar dan jamaah yang bertambah banyak untuk shalat
berjamaah.
Bus berhenti di
depan pos ronda ujung jalan kampung. Aku mesti berjalan sepuluh menit. Antara keinginan
melaksanakan shalat Zuhur dan menuntaskan dahaga berkecamuk hebat untuk segera
ditunaikan. Aku semakin mempercepat langkah menuju rumah.
Melewati langgar,
kudapati pintunya yang terkunci dengan gembok besar. Kemana Bang Izai? Rasanya
Zuhur baru terlewat beberapa menit. Selanjutnya mataku terbelalak tak percaya
ketika melihat keramaian orang yang memasak di halaman rumah. Ibu melihat
kedatanganku tergopoh-gopoh mendekat. Diikuti pasangan mata tetangga yang sibuk
memasak. Aku tak butuh penjelasan lagi. Setelah mencium tangan beliau, aku
berujar pendek. “Uli belum shalat Bu.”
Sebenarnya hatiku
begitu risih dengan acara di rumah yang tak aku sangka-sangka itu. Acara menyeratus hari kepergian Paman Yadi. Aku
heran, Bibi Ais adalah guru agama. Apa ia tidak tahu tentang hukum ini. Atau…
tidak! Tidak mungkin ia tak bisa menolak acara yang sudah menjadi tradisi di
kampungku ini. Ah, awal yang tidak menyenangkan begitu aku kembali menghempaskan
kaki di rumah. Sebuah awal yang membuatku takut akan kehilangan cinta Rabb-ku.
Dengan alasan lelah,
aku minta izin pada ibu untuk istirahat. Sepertinya ibu belum menangkap gurat
lain di mataku. Ah ibu, andai ibu tahu betapa hal ini tak ada gunanya. Bukankah
ini hanya merusak ketenangan almarhum di alam sana. Aku bisa pastikan apa yang ada
di atas pusara Paman Yudi sekarang. Peralatan makanan seperti piring, sendok,
gelas pasti telah berada di sana. Tujuannya agar keluarga yang ditinggalkan
bisa melupakan almarhum. Tradisi ini memang sudah ada sejak dulu. Sebab kampung
ini tidak terjamah dengan nuansa religius.
Ketika aku
mengenal tarbiyah di kampus, pandanganku
mulai berubah. Membaca sirah sahabat dan memahami kehidupan Baginda Nabi membuatku
tersadar akan bagaimana sejatinya sebuah hidup. Masih kuingat kata-kata Mbak
Desy, kakak mentoring, saat aku pamit untuk pulang. “Meski dakwah dunia kampus
untuk sesaat berhenti, namun adek jangan lupa bahwa di kampung tarbiyah tetaplah harus berjalan. Jangan
pernah down dan jadikan tempat
sekitar sebagai ladang dakwah. Tujuan
kita adalah untuk mendapatkan cinta yang benar-benar putih dari-Nya bukan?”
ujar Mbak Desy tersenyum. Benar-benar menyejukkan rongga jiwa.
Ah, harusnya ibu
berada di sini. Memelukku dengan penuh cinta. Mendengarkan hari-hariku yang
penat. Hari-hari yang penuh keluh kesah. Saat-saat aku diberi ujian dengan
fitnah manusia. Mengatakan bahwa aku anak rohis malah berpacaran dengan seorang
ikhwan. Betapa aku merindukan ibu mengatakan “Ibu percaya dengan anak gadis Ibu
yang tak akan menduakan cinta-Nya sebelum waktunya datang.”
Aku memejamkan
mata. Sementara di luar sana suara orang-orang
memasak untuk acara nanti malam semakin riuh.
***
“Abang sekarang
sibuk Ulis. Menjadi guru PNS itu berbeda dengan honorer. Kerjaan Abang lebih
banyak.”
“Tapi Abang kan
masih bisa menghidupkan langgar di waktu shalat-shalat tertentu bukan? Tidak
memati totalkan seperti ini.”
“Ah Ulis.
Realistis saja. Abang tidak digaji. Jamaah yang datang ke langgar pun dua, tiga
orang.”
“Investasi
akhirat Bang. Masa’ Abang kalah di medan perang.”
“Ulis, Ulis.
Bukannya Abang kalah. Niat untuk menghidupkan langgar sangat kuat. Namun jika
hanya Abang sendiri, Abang tak akan sanggup terus bertahan Ulis. Bukannya Abang
lupa jalan pulang. Memang memakmurkan agama-Nya agar terus mendapatkan
cinta-Nya sebuah keharusan Ulis. Tapi untuk di sini…” suara Bang Izai, aktivis
yang berjaya pada masanya, terdengar hambar.
"Jika mengajak
warga di sini untuk ke langgar memang susah, kan anak-anak berbeda Bang. Mereka
pasti…”
“Sudahlah Ulis.
Besok-besok Ulis bakal tahu juga.”
Aku mengerutkan
kening. “Maksudnya?”
Bang Izai mengangkat
bahu, tidak berniat menjelaskan. Kemudian bangkit menemui abang Rini.
“Rini ada
titipan Bu. Sayang kalau ditunda-tunda.” kataku tadi pada ibu. Tentu saja
alasannya bukan itu.
“Boleh. Asal
jangan tidur di sana saja.” jawab ibu sambil terus sibuk mengatur ini itu. Aku
melihatnya dengan risau.
Sampai di rumah
Rini, aku berencana menumpahkan segala uneg-uneg
yang mendera. Rini juga kuliah di tempat yang sama denganku. Namun berbeda
jurusan. Ia lebih duluan pulang dariku seminggu yang lalu. Rumahnya hanya
ditinggali oleh abangnya yang belum menikah. Kedua orang tua Rini sudah
dipanggil-Nya. Yang aku salutkan dengan Rini ia semakin mendekatkan diri pada-Nya
dan mempelajari islam secara utuh ketika kami sama-sama mulai memasuki dunia
perkuliahan. “Tidak ada cinta yang abadi selain cinta dari-Nya Lis.” ujarnya.
Lalu pada saat bersamaan,
Bang Izai yang sejak tadi aku pertanyakan muncul untuk menemui Bang Fakih, abang
Rini. Maka pertanyaanku tak bisa lagi aku bendun. Bukan jawaban yang memuaskan
yang didapat. Malah keluhan Bang Izai yang pesimis bahwa langgar tak bisa lagi
diteruskan. Semakin hari semakin tidak ada yang datang ke langgar. Alasannya?
Sibuk dengan urusan dunia.
Andai mereka
tahu akan luar biasanya shalat berjamaah. Andai mereka tahu bahwa mereka akan
mendapatkan cinta-Nya yang sungguh jauh lebih berharga akan kecintaan pada
dunia semata. Dan andai
mereka tahu, tak ada cinta yang sempurna selain cinta hanya pada-Nya.
Pukul delapan malam
orang-orang mulai ramai di rumah Bibi Ais yang berada di sebelah rumahku. Kaum
laki-laki mengisi tempat duduk yang dihadapannya telah terbentang sprah putih
dengan berbagai makanan. Sementara kaum wanita sibuk di belakang menyajikan
makanan.
Acaranya sama
halnya dengan syukuran kecil. Yakni dimulai dengan makan seperti biasa dan
diakhiri dengan do’a untuk almarhum. Kembali aku mendesah. Apakah cukup hanya
dengan do’a, sementara perintah utama-Nya saja tidak dituruti. Bagaimana akan
dikabulkan sebuah do’a jika cinta untuk-Nya saja tidak ada. Dan bukankah jauh
lebih bijak jika mendo’akan almarhum dilakukan setiap waktu terutama seusai
shalat fardhu. Bukan dengan mengadakan acara syukuran yang memakan banyak biaya.
Pemikiran itu terus kupendam. Bila mempedebatkannya apalagi dengan ibu, aku
benar-benar takut nanti jika akhirnya aku kehilangan cinta-Nya.
***
Apa
yang dikatakan Bang Izai benar adanya. Kedai baru yang berdiri di dekat rumah Rini
itu dimiliki oleh bapak kaya dengan perut menonjol. Di sana ramai dengan
orang-orang yang nongkrong minum kopi, merokok, juga main kartu. Tv ukuran 29
inchi berbody tipis membuat
orang-orang semakin betah di sana. Tempat itu memang dibuat senyaman mungkin.
Bangunannya bertembok dan kursinya yang dilapisi busa. Bahkan kedai ini masih
terus buka hingga subuh, sebab masih ramai dengan yang menonton bola.
Kampungku
semakin renta dengan tingkah manusianya yang tak ingin mendapatkan cinta-Nya.
Cinta itu terganti dengan yang lain. Terpaut akan kecintaan pada nikmat dunia
saja.
Wajah-wajah
polos itu begitu bersemangat ketika aku iming-imingi dengan belajar tambahan di
rumah Rini. Mereka tak menolak diawali dengan belajar mengaji terlebih dahulu.
Sesungguhnya aku berharap tempatnya di langgar. Namun setiap orang yang aku
tanya menjawab tidak tahu ketika aku tanya sama siapa kunci langgar. Ibu, Bang
Zai bahkan Pak Lurah.
Hari-hari
terus berjalan. Seperti biasa, menjelang waktu maghrib aku tiba di rumah.
Hatiku mulai diselimuti bahagia. Jundi-jundi kecil itu bersemangat ketika aku
ajari mengaji.
“Mbak Ulis
kemana saja sih? Kita juga masih pengen terus belajar mengaji. Cuma gak ada
yang ngajarin.” sahut bibir-bibir mungil itu.
Aku hanya
tersenyum. Sekarag bibit-bibit itu sudah ditanam. Jika mereka akan terus
disirami, pasti berbunga, tumbuh menjadi pohon yang meneduhi dan memberikan
manfaat kepada banyak orang.
Seperti
sore-sore sebelumnya, menjelang maghrib aku tiba di rumah.
“Apa yang kamu
lakukan di rumah Rini, Ulis?’ ibu menatapku tajam.
“Ulis memberikan
les Bu.” jawabku santai.
“Hanya itu? Lalu
kenapa obrolan ibu-ibu yang ke sini tadi mengatakan kamu tak mengajar selain
itu.”
‘’Bu, Ulis
mengajarkan mereka mengaji. Apa itu salah?”
Ibu diam
sejenak. Seperti memendam sesuatu. “Tapi orang tua mereka tak menghendakinya
Ulis. Jika kamu minta digaji, mereka bersedia membayar. Tapi ajari mereka
pelajaran sekolah saja. Soal mengaji tidak usah. Mereka tidak butuh.”
Wajahku mengkerut marah.
“Jadi Ibu juga
tak mendukung Ulis?”
“Sudahlah Ulis.”
Ibu mengedarkan pandangannya kesekeliling. Bisa kurasakan getaran sayang itu
masih jelas. Namun aku maklum, ibu juga tak punya daya untuk itu.
Aku menunduk. Air
mataku meronta ditumpahkan. Kembali aku teringat akan petuah-petuah Mbak Desy. “Dakwah
ini memang jalan panjang. Begitu juga untuk menggapai cinta-Nya. Butuh waktu
yang juga panjang. Tetaplah istiqamah, tetaplah berada dalam kawah cinta-Nya
dan lakukan semua untuk mengekalkan cinta-Nya.”
***
Ibu melarangku
untuk tidak mengajari anak-anak itu lagi. Sore ini aku hanya terdiam di rumah. Pintu
diketuk dan ibu membukanya. Pak Lurah. Ibu mempersilahkan duduk. Setelah
sedikit cengengesan, ia menyampaikan misinya.
“Langgar bisa
saja dibuka. Begitu juga dengan pelajaran mengaji. Semuanya bisa dilakukan di
langgar kapanpun.”
Aku tersenyum.
Terima kasih Ya Allah atas hidayah yang tiba-tiba ini.
“Tapi Ulis harus
bersedia didekati Tardi anaknya Pak Busra, orang kaya pemilik kedai baru itu.
Mungkin selanjutnya kalian bisa pacaran dan …” Pak Lurah itu cengengesan lagi.
Wajahku berubah
gusar. Sementara Pak Lurah terus tertawa tidak jelas menanti jawabanku.
***
Ah, tidak ada
yang benar-benar membahagiakan jika telah merasakan kehangatan cinta dari-Nya. Lalu,
tak ada yang lebih menyejukkan dari kata-kata cinta-Nya yang disuarakan lewat
firman-firman-Nya,
walau dibanding dengan lembut sepoi angin yang melambai dan memberikan sejuk ke
seluruh jiwa.
Pintu langgar
memang akan terus terkunci. Asaku untuk menjadikan langgar di kampung sebagai
tempat untuk mengharapkan cinta-Nya yang lebih besar, belum terwujud. Biarlah cinta manusia itu aku tolak dan pintu
langgar tidak bisa dibuka. Aku tak yakin jika menerimanya nanti, cinta
untuk-Nya akan terus berpijar.***
Panam,
akhir Februari 2012
Juara III Lomba Cerpen
Islami Tema Sang Maha Cinta FLP RIAU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar